Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: Inkar Sunnah

Jumat, 07 Januari 2011

Inkar Sunnah

INKAR SUNNAH
Oleh: Abdul Hafizh, SHI 



A.         Pengertian
Inkar Sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengInkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai Sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Inkar Al-Sunnah dapat diartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengInkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam[1].
Secara bahasa pengertian hadits dan Sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rasulullah SAW. Sementara Nurcholis Majid berpendapat bahwa yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengInkaran terhadap hadits Nabi SAW, bukan pengInkaran terhadap Sunnahnya. Norcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau Sunnah. Sedangkan hadits merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi SAW. atau yang dilakukan dalam praktek atau tindakan orang lain yang didiamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran).
Kata “Inkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau Sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam[2].
Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi SAW ada tiga macam:
1.  Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.
2.  Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3.  Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.[3]

B.         Sejarah Inkar Sunnah
1.  Inkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
           Pertanda munculnya “Inkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah SAW. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
           Sikap penampikan atau pengInkaran terhadap Sunnah Rasul SAW yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyyah pada awal masa Abbasiyah[4].
           Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Inkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengInkari Sunnah sebagai landasan agama[5].
           Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
a.       Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
b.      Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila Sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
c.       Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir[6].
           Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
a.       Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas.
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an  yang digunakan mereka sebagai alasan menolak Sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu….”

Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ....
     “…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”

Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain[7].
Adapun alasan lain adalah bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
b.      Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.

2.  Inkar Sunnah pada Periode Modern
           Tokoh- tokoh kelompok Inkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengInkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok Inkar Sunnah pada periode klasik.
           Tokoh-tokoh “ Inkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang Panjang).[8]
           Sebagaimana kelompok Inkar Sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok Inkar Sunnah Indonesia.[9] Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
        ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
           Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya dari pada Allah”.


Kemudian surat al-Jatsiyah ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
           Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits yang manakah selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.

           Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada  umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi hanya bertugas menyampaikan.


C.         Inkar Sunnah di Indonesia
Dalam rentang sejarah, paham Inkar As-Sunnah muncul pada masa Bani Abbas (132 H/750 M-320 H/932M) sampai abad modern. Inkar as-sunnah muncul di berbagai tempat, misalnya di Mesir, Malaysia, India dan di Indonesia.
Bentuk Inkar As-Sunnah di Indonesia sama dengan yang terjadi di Mesir, Malaysia maupun di India. Ada yang menolak hadits secara mutlak, menerima hadits dengan catatan mendapat dukungan dari ayat al-Qur’an dan yang menolak hadits yang berstatus hadits ahad.
Salah satu orang yang menolak hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam adalah Dalimi Lubis. Hal ini terjadi di Padang Panjang Sumatera Barat. Ia dilahirkan di paraman Ampalu kabupaten Pasaman tahun 1940, ia mengakui bahwa semua yang datang dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa riwayat hidupnya yang disampaikan secara lisan maupun tulisan di dalam buku-buku hadits dan sejarah serta tulisan-tulisan lain yang menyangkut pengkhabaran dari beliau, dapat disebut hadits Nabi. Namun demikian bukanlah hadits yang benar karena hadits Rasul (yang benar) tidak bisa lain adalah hadits Allah. Adapun hadits menurut pengertian ulama yang datang dari Abu Hurairah, Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, dan lain-lain itu semua tidak ada hubungannya atau sangkut pautnya dengan hadits Rasul yang sebenarnya kecuali sekedar rekayasa dari mereka (ulama). Lebih lanjut Dalimi Lubis mengatakan bahwa kelahiran hadits/sunnah laksana anak sandal yang tanpa ayah bunda yang sah, ia mengansumsi bahwa kelahiran hadits-hadits versi ulama tersebut sangat mungkin dibanditi oleh imam al-Syafi’I sebagai pelopor gerakan penciptanya secara besar-besaran untuk menyesatkan manusia[10].
Lebih lanjut Dalimi Lubis mengatakan sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an, ia sudah lengkap lagi sempurna sehingga tidak diperlukan lagi sumber ajaran agama selain Al-Qur’an, kedudukan Al-Qur’an adalah satu-satunya sumber hukum dalam Islam hal ini didasarkan QS.6:57
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِمَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya Aku (berada) di atas Hujjah yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku, sedangkan kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah dan Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.

Ayat-ayat Al-Qur’an merupakan penjelasan bagi petunjuk Allah, apabila seluruh ayat Al-Qur’an jika pahami dan kita amalkan, maka kita sudah sempurna menjalankan ajaran Islam. Kemudian Rasulullah juga melarang para sahabat mencatat dan menuliskan hadits-hadits beliau, hal ini merupakan upaya preventive agar umat jangan menjadikan hadits Nabi itu sebagai sumber hukum tambahan dari Al-Qur’an.12
Demikian antara lain alasan yang dikemukakan oleh Dalimi Lubis untuk menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Kalau diperhatikan alasan yang dikemukakan Dalimi Lubis, juga mengandung sisi lemah.
Kalau mengikuti Allah maka konsekuensinya harus mengikuti Rasulullah, tidak mungkin mengikuti Allah tanpa melalui petunjuk yang disampaikan oleh Rasul. Petunjuk yang disampaikan oleh Rasul dinamakan hadits.
Kemudian banyak ayat yang memerintahkan kita untuk mengikuti perintah Rasul antara lain :    
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“ ……apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah” (QS.59:7)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatilah olehmu Allah dan Rasul supaya kamu dirahmati” (QS.3:132)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidak patut bagi laki-laki mu’min, dan apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, dan ada pilihan lain bagi urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhya dia telah sesat yang nyata”. (QS.33:36)

Dari ayat-ayat di atas Allah memerintahkan kepada umat Muhammad untuk mengikuti Allah sekaligus mengikuti perintah Rasul-Nya, Nabi SAW mempunyai otoritas untuk menjelaskan firman Allah yang disampaikan kepada beliau, penjelasan beliau tersebut dinamakan dengan hadits. Kepatuhan kita kepada Allah juga tercermin dari kepatuhan kita kepada perintah Rasul.

D.        Lemahnya Argumen Para PengInkar Sunnah
Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengInkar Sunnah memiliki banyak kelemahan, misalnya :
1.      Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok Inkar Sunnah untuk menolak Sunnah secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’I ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadits adalah menerangkan secara teknis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran. Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits.
2.      Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits. Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.[11]

E.         Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan, bahwa dalam rentang sejarah perjalanan sunnah Rasulullah SAW, telah terjadi peng-Inkar-an. Bentuk peng-Inkar-an terhadap sunnah Rasul dapat diklasifikasikan tiga kelompok. Pertama, orang yang menolak Sunnah atau hadits secara mutlak, tanpa membedakan antara hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Kedua orang yang hanya menerima hadits apabila ada kesamaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dan ketiga orang yang menolak hadits yang berstatus hadits ahad.
Inkar Al-Sunnah tidak hanya terjadi di Negara lain, akan tetapi juga terjadi di Negara Indonesia, bentuk penInkaran sunnah juga sama dengan yang pernah terjadi di Mesir, India dan lain-lain.

Wa Allah ‘alam bi shawab. 


DAFTAR KEPUSTAKAAN


Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Toha Putra, 2004.

Djamaluddin, Amin, Bahaya Inkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986.

Ismail, Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.

Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, PengInkar dan pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.

Siba’I, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.

Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I, Pnerbit. Gaung Persada Press, Jakarta, 2008.

Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006.





[1] Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I,  Penerbit. Gaung Persada Press, Jakarta, 2008, hlm. 200.
[2] Drs. Suyitno, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I,  IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006, hlm. 275.
[3] Op. Cit,  Antologi Ilmu Hadits, hlm. 207.
[4] Ibid,, hlm. 277.
[5] Log. Cit, Antologi Ilmu Hadits,  hlm. 200.
[6] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa 1991, hlm. 141.
[7] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 16.
[8] M. Amin Djamaluddin, Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986, hlm. 1.
[9] Ibid, hlm. 45 dan 27.
[10] Edi Safri. Tth. Melacak Pandangan Dalimi Lubis tentang penolakan terhadap sunah. (Studi Kasus penganut paham inkar sunah di Padang Panjang: Baitul Hikmah). h. 19-20
[11] Mustafa Siba’I, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993, hlm. 122-125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar