Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: DUALISME; Antara Fiqih, Hukum Positif dan Masyarakat

Selasa, 16 Agustus 2011

DUALISME; Antara Fiqih, Hukum Positif dan Masyarakat

Prolog
Apabila rumah tangga sudah tidak bisa lagi dipertahankan lagi, Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian dalam tiga bentuk, yakni; talak, khulu’ dan fasakh. Jika keinginan untuk mengakhiri ikatan pernikahan itu datangnya dari pihak suami, maka hal itu disebut dengan talak. Bila datangnya dari pihak istri, maka disebut dengan khulu’, dan kalau pernikahan itu diputuskan oleh Pengadilan Agama, dikenal dengan istilah fasakh.

Secara etimologi, talak diartikan dengan melepaskan atau menanggalkan, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Secara terminologis, Muhammad Abu Zahrah telah memberikan defenisi yang relevan dalam kitab al-Ahwal asy-Syakhshiyyah sebagai berikut:
الطلاق فى إصطلاح الفقهـاء ، رفع قيـد النكاح فى الـحـال، أو فى المـآل بلفظ مشتق من مـادة الطلاق أو فى معنــاهـا

Talak menurut istilah fuqaha’ adalah mengangkatkan ikatan pernikahan saat itu juga atau pada masa yang akan datang dengan lafaz talak atau bentuk kata yang semakna dengan itu.

Talak merupakan suatu jalan keluar yang diberikan dalam ajaran Islam apabila keretakan rumah tangga tidak bisa dihindari lagi. Dengan katalain, talak merupakan suatu hal yang diperbolehkan dalam Islam. Adapun landasan hukum talak adalah firman Allah SWT, Hadits Nabi, dan Ijma’ para ulama. Firman Allah SWT yang menjadi dasar hukum talak adalah surat al-Baqarah [2] ayat 229 berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ...{البقراة (2) 229}

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…
(Qs. Al-Baqarah [2] ayat 229)

Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud dari Ibnu Umar berikut:
عن إبن عمر رضي الله تعـالى عنهمـا قـال؛ قـال رسول الله صلى الله عليه وسلم أبغض الحلال إلى لله الطلاق
{رواه أبو داود وإبن مـاجة وصححه الحـاكم؛ ورجح أبو حـاتم إرسـاله}
Dari Ibnu Umar R.A., beliau berkata; bersabda Rasulullah SAW; perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talaq.
(H.R. Abu Daud dan Ibn Majah, dinilai shahih oleh al-Hakim, Abu Hatim menguatkan mursalnya).

Hadits di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa dalam perbuatan yang halal itu terdapat beberapa perbuatan yang dimurkai oleh Allah SWT dan sesungguhnya perbuatan yang paling dimurkai oleh Allah SWT itu adalah talak. Kata “dibenci” adalah perkataan berbentuk majaz yang maksudnya: tidak mendapat pahala, tidak ada pendekatan diri kepada Allah SWT dalam perbuatan itu. Hadits ini mengandung makna sebaiknya menghindari perbuatan talak selama masih ada jalan keluarnya .

Ayat dan hadits di atas menunjukkan adanya hukum talak menurut ajaran Islam. Tentang adanya hukum talak ini, para ulama mengakuinya dan tidak terdapat ikhtilaf di antara mereka .
Talak bukanlah suatu hal yang digemari dalam Islam, namun apabila sudah tidak bisa dihindari lagi, Islam menganjurkan agar suami menjatuhkan talak. Walaupun hukum dasar adanya talak itu adalah makruh, namun meninjau dari beberapa keadaan dan kondisi tertentu, maka hukum talak ada beberapa macam;
1. Nadab atau sunnah
Apabila dalam keadaan rumah tangga yang sudah tidak dapat lagi dilanjutkan. Seandainya masih dipertahankan, akan menimbulkan kemudharatan yang besar.
2. Mubah atau boleh
Apabila memang perlu ada perceraian namun dengan syarat tidak ada pihak yang dirugikan dan manfaatnya pun terlihat.
3. Wajib atau mesti dilakukan
Apabila seseorang telah bersumpah tidak akan menggauli istrinya sampai batas waktu tertentu, sedangkan ia juga tidak mau membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Hal ini sangat merugikan istri.
4. Haram
Apabila sang istri berada dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang telah digauli .

Talak bisa dipandang dari beberapa sudut pandang. Dengan melihat kemungkinan boleh atau tidaknya suami kembali kepada mantan istrinya, maka talak dibagi ke dalam dua kelompok berikut;
1. Talak Raj’iy
Talak raj’iy adalah talak yang dilakukan di mana suami diberikan hak untuk kembali kepada istrinya tanpa harus melakukan pernikahan yang baru dengan catatan istrinya masih berada dalam masa iddah.
Bentuk talak yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah talak satu dan talak dua tanpa didahului oleh tebusan dari pihak istri. Status perempuan dalam masa iddah talak raj’iy sama dengan istri dalam asa pernikahan untuk semua keadaannya, kecuali dalam hal pergaulan suami istri. Untuk kembali kepada mantan istrinya, mantan suami cukup hanya dengan mengucapkan rujuk kepada mantan istrinya.
2. Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang putus secara penuh dan menutup kemungkinan kembalinya mantan suami kepada mantan istrinya kecuali dengan melakukan pernikahan yang baru.
Talak ba’in ini terbagi ke dalam dua bentuk, sebagai berikut;
a. Talak ba’in sughra
Talak ba’in sughra adalah talak yang membuat suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kembali dengan mengadakan perkawinan yang baru.
Bentuk talak yang digolongkan kepada talak ba’in sughra ini di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Suami yang mentalak istri yang belum pernah dicampurinya.
2) Suami mentalak istri atas permintaan istri dan pihak istri membayar iwadh.
b. Talak ba’in kubra
Talak ba’in kubra adalah talak yang tidak memungkinkan suami kembali lagi kepada mantan istrinya. Talak ba’in kubra ini adalah talak yang dijatuhkan suami kepada mantan istrinya untuk yang ketiga kalinya, sehingga suami kehabisan bilangan talak dan pernikahan putus pada saat itu juga. Ia bisa kembali kepada mantan istrinya setelah mantan istri kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan suami keduanya itu serta telah habis pula masa iddahnya.

Akibat hukum yang dilahirkan akibat adanya talak ba’in kubra ini adalah sebagai berikut;
1. Terputusnya segala hubungan dan ikatan suami istri setelah talak dijatuhkan;
2. Suami tidak lagi memiliki hak talak;
3. Suami dan istri tidak saling mewarisi meskipun dalam masa iddah .

Negara selaku pihak yang berwenang dalam mengawasi tingkah laku setiap warga negaranya, mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan peraturan yang baku dan mempunyai kepastian hukum tetap untuk menjamin tertibnya warga negara. Dalam hal ini, Negara melalui instansi yang ditunjuk dan berwenang membuat sebuah kodifikasi peraturan perundang-undangan mengenai hal ini. Demikian juga halnya dengan masalah pernikahan, talak, rujuk dan hal lain yang berkaitan dengannya yang berkaitan dengannya yang terjadi di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai peraturan yang mengaturnya.

Pada bidang perkawinan, pemerintah telah membuat kodifikasi undang-undang yang terkait, yaitu; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian diikuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya edaran Menteri Agama tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Khusus masalah perceraian, pada peraturan perundang-undangan yang disebut di atas dimuat dalam bab tersendiri. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah perceraian dijelaskan dalam Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya pasal 38 dan pasal 39, berikut;
Pasal 38
Perkawinan putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan, c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri .

Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah perceraian dijelaskan pada Bab V tentang Tata Cara Perceraian dalam pasal 14 berikut:
Pasal 14
Seorang suami yang sudah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia berniat menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu .

Sedangkan di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah perceraian dijelaskan pada Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan, dalam pasal 115 berikut:
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan dengan di hadapan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak .

Berdasarkan bunyi pasal-pasal yang dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa bilangan talak yang dihitung hanyalah talak yang dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Apabila talak terjadi di luar sidang Pengadilan Agama, maka talak itu dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat. Dalam hal ini, apabila seorang suami mentalak istrinya untuk pertama dan kedua kalinya sesuai dengan pendapat fuqaha dengan tidak mengajukannya kepada sidang Pengadilan Agama, namun sebelum masa iddah istrinya habis, ia kembali merujuki istrinya, maka perkawinan kembali seperti biasa dan tidak terjadi perceraian. Namun masalah akan timbul ketika suami menjatuhkan talak yang ketiga kalinya dan diajukan ke Pengadilan Agama.
Menurut pendapat fuqaha, apabila suami menjatuhkan talak untuk ketiga kalinya terhadap istrinya, maka perkawinan putus pada saat itu juga. Hal di dasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang empat kecuali an-Nasa’i dari Abu Hurairah berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قـال؛ قـال رسول الله صلى الله عليـه وسلم؛ ثلاث جدهـن جد وهزلـهـن جد الـنكاح والـطلاق والـرجعتـه.
{رواه الأربعـة إلا الـنسـائى وصححه الحـاكم}
Dari Abu Hurairah R.A., beliau berkata: Rasulullah SAW bersbda: Ada tiga perkara, sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh dan main-main pun menjadi sungguh, yaitu; nikah, thalaq dan rujuk.
(H.R. al-Arba’ah, yaitu Abu Daud, at-Tarmidzi dan Ibn Majah, kecuali an-Nasa’i, Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim).

وفى روايـة عن أبى هريـرة لابن عدى من وجـه آخر ضعيف، الـطلاق والعتـاق والـنكاح {رواه أبن عدى}
Dalam suatu riwayat (dari Abu Hurairah juga) oleh Ibnu Adi dari sanad lain yang lemah (tiga perkara itu); ialah thalaq, memerdekakan hamba dan nikah.
(H.R. Ibnu Adiy)

وللحـارث بن أبى أســامة من حديث عبـادة بن الـصامت رضى الله عنهـم رفعـه لايجـور اللعـب فى ثلاث؛ الـطلاق والنـكاح والـعتـاق فمن قـالـهـن فقد وجبـن {رواه أبن عدى}
Dan menurut riwayat al-Harits ibn Abu Usamah dari hadits Ubaddah ibn Shamit R.A. yang beliau sambung sanadnya hingga Rasulullah SAW (beliau berkata): Tidak boleh main-main dalam tiga perkara: talaq, nikah dan memerdekakan hamba. Barang siapa yang telah menegucapkanannya, maka wajib melaksanakannya dan sanadnya lemah.
(H.R. Ibnu Adiy)

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa talak adalah suatu hal yang mendapat perhatian khusus dalam Islam. Apabila seorang suami menjatuhkan talak di luar sidang Pengadilan Agama, maka berdasarkan hadits ini sudah dihitung dengan talak yang sah. Masalah yang menarik bagi penulis di sini adalah ketika talak yang ketiga kalinya diajukan ke sidang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya melegitimasi talak yang diikrarkan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sehingga dua bilangan talak yang dijatuhkan suami di luar sidang Pengadilan Agama sebelumnya –yang menurut fuqaha itu dihitung yang kedua kalinya– tidak diperhitungkan oleh hakim di Pengadilan Agama. Hal ini akan menimbulkan kesenjangan dan kontroversi antara pendapat fuqaha dengan peraturan perundang-undangan ketika talak yang disidangkan di Pengadilan Agama itu hanya dihitung sebagai talak satu, sementara menurut fuqaha suami sudah menghabiskan bilangan talaknya.

Contoh kasuistis adalah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Sawahlunto atas nama AN (Penggugat) dan BS (Tergugat) yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sawahlunto dengan nomor register perkara 63/Pdt.G/2002/PS.Swl pada tanggal 12 Agustus 2002. kedua belah pihak bertempat tinggal di Kenagarian Batu Manjulur Kecamatan Kupitan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.

Posita perkara ini dapat disimpulkan dari isi gugatannya bahwa pada awalnya Tergugat sudah mentalak Penggugat di rumah, namun Tergugat kemudian merujukinya kembali. Namun hubungan antara Penggugat dan Tergugat mulai tidak harmonis kembali dan pada bulan Juni 2002 sudah tidak serumah lagi karena Tergugat menjatuhkan talak yang ketiga kalinya kepada Penggugat. Namun karena tidak ada kejelasan, maka Penggugat mengajukan gugatannya kepada Kepaniteraan Pengadilan Agama Sawahlunto .
Pada proses persidangan pertama, hakim mengupayakan agar para pihak bisa kembali berdamai (mediasi). Atas nasehat dan arahan dari majelis hakim, kedua belah pihak kembali pulang dengan membawa surat penetapan pencabutan perkara yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Sawahlunto .

Permasalahan yang menjadi fenomena dalam masyarakat sungguh mengejutkan. Setelah kedua belah pihak ini berhasil berdamai dan mencabut gugatannya, mereka kemudian tinggal serumah kembali. Namun mereka diursir oleh masyarakat lantaran masyarakat telah menganggap mereka telah sah bercerai dengan talak yang sudah diucapkan oleh BS kepada AF, dan tidak boleh tinggal serumah lagi. Padahal mereka mempunyai akta damai dan tidak bercerai dalam pandangan 'hukum positif yang berlaku'. Namun di satu sisi, dalam pandangan masyarakat, mereka telah bercerai secara 'islami'.

Pertanyaannya :
Permasalahan seperti ini hanyalah segelintir dari beberapa kasus lain yang terjadi di Indonesia. Entah sampai kapan ini akan menjadi polemik yang sulit untuk dipecahkan.

Analisis
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai sebagaimana yang diungkapkan oleh L. J. Van Apeldoorn . Hukum tidak hanya bertujuan untuk memberikan keadilan, tetapi tujuan hukum juga cenderung kepada asas kemanfaatan (justice et utilities) . Jadi, hukum memberikan kepastian dan jaminan agar terjaganya setiap kepentingan manusia.
Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana mereka seharusnya bertindak dan bertingkah laku. Hal-hal apa saja yang diperbolehkan dalam hukum dan hal-hal apa saja yang dilarang oleh hukum sehingga masing-masing individu mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya.
Untuk mencapai tujuan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, maka adanya kodifikasi hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan dirasa mempunyai peran yang sangat penting guna menjamin serta menjaga hak-hak dan kewajiban antar sesama anggota masyarakat. Wujud nyata dari kodifikasi peraturan perundang-undangan itu direalisasikan dengan adanya suatu bentuk peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar, maka akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi para pelanggarnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai keberagaman. Hal ini terlihat dalam semboyan negara yang menyatakan ”Bhineka Tunggal Ika” . Dari segi agama, agama Islam adalah mayoritas agama yang dianut warga negara Indonesia. Dari hasil survei yang dilakukan LSI (Lembaga Survai Indonesia) pada tahun 2005, jumlah warga negara Indonesia yang menganut agama Islam berjumlah kurang lebih 200 juta jiwa . Tatanan kehidupan masyarakat mayoritas beragama Islam ini membawa pengaruh kepada bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permumusan peraturan perundang-undangan, sedikit banyaknya akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan keilmuan perumusnya, yang dalam hal ini merupakan para ahli yang beragama Islam.
Pada kalangan masyarakat, pengertian Syari’at Islam sering disamakan dengan pengertian fiqih dan hukum Islam. Ketiganya memang sama-sama merupakan ”jalan” yang berasal dari Allah SWT, akan tetapi dalam perkembangan sejarah Islam, ketiganya telah mengalami diferensiasi makna . Syari’at Islam secara umum adalah keseluruhan teks al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana ketentuan Allah yang seharusnya menjadi pegangan hidup manusia. Abdullah Yusuf Ali menyebutnya sebagai ”the right Way of Religion” (jalan agama yang benar) .
Sebuah perintah, larangan ataupun pernyataan teks memerlukan sebuah pemahaman untuk bisa dilaksanakan sebagai jalan hidup. Selain itu, peristiwa-peristiwa baru yang belum ditetapkan oleh teks-teks agama memerlukan formulasi hukum untuk memastikan pandangan Islam mengenai hal itu. Hal inilah yang dimaksud dengan fiqih.
Pemahaman syari’at yang telah diformulasikan dalam bentuk teks hukum berupa konstitusi, undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat warga Negara dapat disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan hukum Negara atau sebagian hukum Negara, dan sebagai ilmu ia mempunyai cabang-cabang seperti ilmu hukum umum yang terdiri dari hukum konstitusional, hukum perdata, hukum pidana, hukum ekonomi dan lain sebagainya . Salah satu bahasannya dalam hal perdata adalah masalah perorangan (dalam BW dikenal juga dengan Familie Recht) yang dalam hal ini lebih dikenal dengan hukum perkawinan.
Salah satu produk hukum yang dilahirkan di Indonesia dalam menertibkan permasalahan perkawinan ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan oleh Presiden RI dengan persetujuan DPR RI di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 sebagaimana yang tertulis dalam Lembaran Negara RI tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan buah pemikiran, kerja keras dan pengorbanan besar para ulama Indonesia pada masa itu, di mana isinya mengadopsi hukum perkawinan Islam dalam kitab-kitab fiqh.
Namun dalam realita masyarakat saat sekarang ini, tidak sepenuhnya Undang-undang dapat direalisasikan sepenuhnya sebagaiman semestinya. Undang-undang yang pada dasarnya dibuat untuk menjaga ketertiban melindungi hak dan kewajiban warga Negara apabila dilaksanakan sepenuhnya akan menimbulkan berbagai permasalahan.
Polemik yang terjadi seperti yang diceritakan di atas, merupakan salah satu bentuk perbenturan karena adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami ada atau tidaknya dualisme hukum yang berlaku di Indonesia.

Sumber :
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996)
Abdullah Yusuf Ali, The Holy al-Qur’an: Text, Translation and Commentary, (Brendwood: Maryland: Amana Coorporation, 1989)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1994)
--------------------------, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Badan Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001)
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993)
Instruksi Presiden INdonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
J.B. Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum (Buku Panduan Mahasiswa), (Jakarta: P.T. Prenhallindo, 2001)
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1958)
Muhammad ibn Isma’il al-Kahlani ash-Shan’ani, Subul as-Salam, (Bandung: Dahlan, 1926), Juz 3
Pengadilan Agama Sawahlunto, Bundel A; Berita Acara Persidangan Perkara No. 63/Pdt.G/2002/PA.Swl
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, 1999)
Rifyal Ka’bah, Islamic Law, dalam majalah triwulan Muslim Executive & Expatriate (Jakarta: Muharram 1, 1420)
----------------, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar