Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: AKAD NIKAH MELALUI TELPON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Rabu, 23 Desember 2015

AKAD NIKAH MELALUI TELPON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



AKAD NIKAH MELALUI TELPON
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


a.    Pengertian Pernikahan
Kata nikah dalam bahasa arab berarti adh-dhammu( (الضمyang terambil dari akar kata dhamma-yadhummu-dhamman (ضم-يضم-ضما)yaitu menyatu atau bergabung, danالوطءberasal dari kata wathi'a-yatha'u-wat'an ( (وطء-يطأ-وطأ, yang berarti berhubungan badan, menggauli dan bersetubuh dan  juga berarti al-jam'u (الجمع) berasal dari kata  jama'a-yajma'u-jam'anجمع-يجمع-جمعا ).) yang berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.[1]
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj ( زواج), kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur'an dan hadits Nabi.[2]
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
1.    Menurut Abu Yahya Zakaria Al-Anshary :
النكاح شرعا هو عقد يتضمن اباحة وطى بلفظ انكاح او نحوه
    Artinya : Nikah menurut istilah syarak ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.[3]

2.    Menurut Mazhab Hanafi, pengertian nikah ialah akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak.[4]
3.    Menurut Mazhab Maliki, Pengertian nikah ialah aqad yang dilakukan  untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita.[5]
4.    Menurut Imam Syafi'I, pengertian nikah ialah suatu aqad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita.[6]
5.    Menurut Ulama mazhab hanafi, pengertian nikah ialah akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak.[7]
6.        Undang-Undang Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[8]
7.        Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[9]
Dari beberapa pengertian perkawinan diatas dapat dilihat bahwa perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan atau maksud mengharapkan keridaan Allah SWT.[10]
b.        Dasar Hukum Pernikahan
1.      Q.s An-Nuur : 32-33

(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ   É#Ïÿ÷ètGó¡uŠø9ur tûïÏ%©!$# Ÿw tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuŽÏZøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 tûïÏ%©!$#ur tbqäótGö6tƒ |=»tGÅ3ø9$# $£JÏB ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz ( Nèdqè?#uäur `ÏiB ÉA$¨B «!$# üÏ%©!$# öNä38s?#uä 4 Ÿwur (#qèd̍õ3è? öNä3ÏG»uŠtGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷Šur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gd̍õ3ム¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ  


Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sediriandiantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.[11]

Asbab An-Nuzul ( Sebab Turunya ayat)

Ayat :
tûïÏ%©!$#ur tbqäótGö6tƒ |=»tGÅ3ø9$# $£JÏB ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz

Turun berkenaan dengan budak Huwaithib bin Abdul Izza, yang bernama Shabih, dia meminta kepada majikannnya agar memukattabkannya,[12] tetapi majikannya itu enggan. Kemudian turunlah ayat ini. Huwaithib lalu memukattab kannya sejumlah 100 dinar, dan Huwaithib memberi pula kepadanya 20 dinar.[13]
Jabir berkata, Abdullah bin Ubay berkata kepada budaknya, pergilah menjual diri ( melacur ) untuk kami kemudian turunlah ayat :
öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz

2.                Q.S An-Nisa’ ayat : 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ   .
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.( QS. An-Nisa’ : 3 )
Sabab An-Nuzul (Sebab turunya ayat )
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang anak perempuan yatim yang dipelihara oleh seorang laki-laki, Anak yatim itu mempunyai harta benda. Laki-laki tersebut menikahinya karena mengharapkan harta benda tersebut, kemudian dia memukul anak yatim itu dan mempergaulinya dengan buruk serta tidak memberikan sesuatu kepadanya, selanjutnya turunlah ayat.[14]
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
Imam al-Bukhari, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir, meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki memelihara seorang anak yatim yang mempunyai kemuliaan dan keluhuran. Kemudian dia menikahi anak yatim tersebut dengan tidak memberikan sesuatu kepadanya, selanjutnya turunlah ayat.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur



3.    Hadits Rasulullah saw
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا عَمِّي حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ ابْنِ إِسْحَقَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ فَجَاءَهُ فَقَالَ يَا عُثْمَانُ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ قَالَ فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَلِّ وَنَمْ
Artinya :Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Sa'd telah menceritakan kepada kami pamanku telah menceritakan kepada kami ayahku dari Ibnu Ishaq dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang menemui Utsman bin Mazh'un, lalu Utsman datang kepada beliau, maka beliau bersabda: "Apakah kamu membenci sunnahku?" Utsman menjawab; "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah… bahkan sunnahmu lah yang amat kami cari." Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidur, aku juga shalat, aku berpuasa dan juga berbuka, aku juga menikahi wanita. Bertakwalah kepada Allah wahai Utsman, sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas dirimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan kamu pun memiliki hak atas dirimu sendiri, oleh karena itu berpuasa dan berbukalah, kerjakanlah shalat dan tidurlah.[15]
كُنْتُ مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ وَهُوَ عِنْدَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ عُثْمَانُ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فِتْيَةٍ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ فَلَمْ أَفْهَمْ فِتْيَةً كَمَا أَرَدْتُ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَا فَالصَّوْمُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya :Telah mengkhabarkan kepada kami 'Amr bin Zurarah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yunus dari Abu Ma'syar dari Ibrahim dari 'Alqamah, ia berkata; saya pernah bersama Ibnu Mas'ud dan ia sedang berada di sisi Utsman radliallahu 'anhu, kemudian Utsman berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui beberapa pemuda. Abu Abdur Rahman berkata; saya tidak memahami para pemuda sebagaimana yang saya inginkan. Kemudian beliau bersabda: "Barang siapa diantara kalian yang memiliki kemampuan maka hendaknya ia menikah, karena sesungguhnya hal itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan orang yang tidak memiliki kemampuan maka puasa adalah pengekang baginya.[16]

Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bahwa dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula hanya sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan Sunnah Nabi, dan karenanya pelaksanaan dan motivasinyapun harus berdasarkan kepada petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Dalam Islam motivasi utama yang mendorong seseorang untuk memilih seorang perempuan  untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan hendaklah atas dasar keberagamaannya, artinya mencari pasangan yang memiliki komitmen atau kesungguhan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena inilah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap, kecantikan suatu ketika dapat pudar, demikian pula dengan kedudukan, suatu ketika akan hilang.
C.Rukun dan Syarat Perkawinan

1.    Pengertian rukun dan syarat sah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dalam sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudlu, dan takbiratul ikhram untk shalat. Atau adanya calon pengantin bagi laki-laki dan perempuan.[17]
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.[18]
2.    Rukun Nikah
Jumhur ulama sepekat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:[19]
a.    Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b.    Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Kata wali secara bahasa bisa berartiالمحبة والنصرة(kasih sayang dan tolong menolong, seperti dalam penggalan ayat QS. Al-Ma'idah ayat 56 :
`tBur ¤AuqtGtƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¨bÎ*sù z>÷Ïm «!$# ÞOèd tbqç7Î=»tóø9$# ÇÎÏÈ  
Artinya : Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Bisa juga berartiالسلطان والقدرة( pemimpin atau kekuasaan). [20]Kata al-Waliyy mu'annatsnya al-Waliyyahالولية)) dan jamaknya al-Auliya' ( الاولياء ), berasal dari kata : wala-yali-waliyan- wa walayatan( ولى ­- يلى -  وليا – وولاية ), secara harfiyah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang-orang yang mengurus perkara ( urusan ) orang lain.[21]
Atas dasar  pengertian etimologi kata wali di atas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayah barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah.[22]
Sedangkan secara terminologi, diungkap oleh ulama diantaranya :

1.        Menurut istilah fuqaha, sebagaimana dinyatakan oleh Wahbah al Zuhaili.
[23]القدرة على مباشرة التصرف من غير توقف على اجازة احد
Kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) oleh seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan  sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain”

2.        Dalam kitab al fiqh ala Mazahib al Arba’ah
[24]   الذي يتوقف عليه صحة العقد فلا يصح بدونه
Orang yang mengakadkan nikah menjadi sah, maka  tidak sah nikah tanpa wali”
Berdasarkan rumusan diatas, dapat disimpulkan bahwa Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Sedangkan dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
عن ابي بردة بن ابي موسى عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال : قال رسول  الله ص م : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ ( رواه احمد والا ر بعة )
Artinya :“Dari Abu Burdah bin Abu Musa dari bapaknya, semoga Allah meredhai keduanya berkata : Rasul Saw bersabda : “Tidak ada  pernikahan kecuali dengan seorang wali”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan al Araba’ah (Abu Daud, at Tarmizi, An Nasa’i dan Ibnu Majah).[25]
Kedua hadis diatas menunjukan bahwa pernikahan tanpa wali itu tidak sah. Karena asal pengertian nafi ( لا ) itu adalah tidak sahnya bukan tidak sempurnanya. Ulama berselisih pendapat tentang persyaratan wali dalam pernikahan. Jumhur ulama mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wali tidak disyaratkan secara mutlak.[26]
عن ابي هريرةرضي الله تعال عنه قال : قال رسول الله ص م : لا تزوج المرءة المرءة ولا تزوج المرءة نفسها ( رواه ابن ماجه والدارقطني)
Artinya :“Dari Abu Hurairah beliah berkata : Rasulullah Saw bersabda : Wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daraquthni.[27]

Dalam hadis diatas terkandung dalil bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Tidak ada wewenang baginya dalam pernikahan baik ijab maupun qabul. Wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seizin walinya atau orang selain dirinya. Dia juga tidak boleh  mengawinkan wanita lain sebagai wali atau sebagai wakilnya, dan wanita juga tidak boleh menerima pernikahan sebagai wali atau sebagai wakilnya. Demikian menurut pendapat Jumhur ulama.
c.    Adanya dua orang saksi[28]

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW :
وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوعًا  لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ  .
Artinya :“Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasan dari Imran bin Hushain secara marfu’ “ Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi”.[29]
d.   Shighat akad nikah, yaitu ijab dan qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh pengantin laki-laki

3.    Syarat sahnya Perkawinan
Selain rukun perkawinan, ada syarat sah perkawinan. Kalau rukun menjadi substansi perkawinan, maka syarat berada diluar, tetapi termasuk mempengaruhi berlangsung atau tidaknya suatu perkawinan.
            Wahbah alzuhaili membagi persyaratan perkawinan  kepada empat macam, yakni ada syarat yang terkait dengan akad perkawinan, ada yang terkait dengan sahnya perkawinan, ada pula kebolehan meneruskan perkawinan, selain itu ada pula syarat yang telah dilazimkan.[30]
            Pertama, Syarat akad maksudnya yang terkait dengan kesempurnaan rukun atau prinsip perkawinan. Menurut mayoritas ulama fiqh, jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka perkawinan terancam batal. Syarat ini tersimpul dalam beberapa syarat yang ditujukan kepada kedua belah pihak serta yang terdapat dalam ijb Kabul. Persyaratan bagi kedua belah pihak; 1). Harus yang bersangkutan melangsungkan akad terhadap dirinya atau sebagai wakil dari yang akan kawin. Keduaanya harus cakap bertindak hukum (baligh berakal). Jika tidak, maka akadnya tidak boleh dilangsungkan atau berakibat batal, sebab disini tidak terdapat kesempurnaan maksud dan tujuan akad yang dibenarkan oleh agama; 2). Kedua belah pihak dapat mendengarkan dan memahami ucapan satu sama lain ketika mengucapkan akad, kendati melalui perantara seperti surat bagi yang tidak hadir, ini untuk menunjukan persetujuan (kerelaan) keduanya. Khusus bagi perempuan disyaratkan : 10. Betul-betul perempuan sejati, bukan waria (khunsa musykil)[31], 2). Tidak termasuk perempuan yang haram dikawini.
            Syarat shigat akad ( ijab Kabul) mencakup empat hal; 1). Harus dalam satu tempat atau majlis bagi yang bisa hadir. Artinya ijab Kabul itu dilakukan dalam satu waktu atau satu tempat untuk kesempurnaan akad. Perkawinan yang dilangsungkan dimajlis yang berbeda, seperti kata wali ; Aku kawinkan anakku dengan mu”, lalu laki-laki berdiri sebelum mengucapkan Kabul dan berkata; “sya terima setelah waktu ini berlalu” maka akad itu tidak sah. 2). Ada persesuaian ijab dengan Kabul serta ukuran mahar yang ditetapkan, jika berbeda, seperti kata wali; Aku kawinkan kamu dengan Fatimah”, lalu dijawab oleh pihak laki-laki, “ Aku terima nikahnya A’isyah”, maka cara seperti ini jelas tidak sah. 3). Ijab dan Kabul saling berhubungan tidak dibatasi oleh ucapan lain, 4). Dapat diselesaikan dalam waktu itu juga, tidak boleh dikaitkan dengan waktu tertentu, seperti ; Saya kawini kamu esok pagi”  dan tidak pula dikaitkan dengan syarat yang tidak ada pada waktu akad, seperti ; “Saya kawini kamu jika si Pulan telah datang”.
            Kedua, Syarat yang harus disempurnakan berdasarkan susunan akad. Menurut mazhab Hanafi, jika salah satu persaratan itu tidak terpenuhi, maka perkawinan itu dianggap fasid (rusak), namun mayoritas ulama mengatakan batal.Syarat ini mencakup sepuluh macam :
1.    Dihalalkan pada waktu berikutnya ( Syarat furu’iyyah), seperti mengawini dua bersudara setelah salah satunya meninggal, atau dihalalkan sejak awal (Syarat ashliyyah) seperti bagi yang bukan mahram.
2.    Tidak dibatasi oleh waktu tertentu
3.    Ada saksi
4.    Keduanya sama-sama rela atau bebas berikhtiyar
5.    Jelas identitasnya
6.    Bukan ketika ihram
7.    Ada mahar ( baik musamma atau mitsil )
8.    Berakad tidak secara diam-diam
9.    Salah satu pihak tidak berpenyakit yang menyebabkan kematian
10.    Ada wali.[32]
Ketiga, syarat yang berkaitan dengan tindakan kedua belah pihak yang terkait dengan keabsahan akad, jika salah satu syarat tidak ada, maka menurut Hanafi dan Maliki perkawinan itu ditangguhkan (mauquf), persyaratan itu mencakup lima hal;
1.    keduanya punya kewenangan untuk bertindak untuk melakukan akad
2.    suami bebas bertindak atas dirinya sendiri
3.    harus ada penjelasan keizinan wali dekat sebelum dilimpahkan kepada wali jauh
4.    Jika berwakil, maka yang menerima wakil harus menjalankan tugasnya menurut kehendak yang mewakilkan
5.    Tidak ada akad bagi perempuan yang tidak ada wali.
Keempat, syarat lazim (menurut kalangan Hanafiyah saja), syarat ini terkait dengan kelestarian akad, jika salah satu syarat tidak ada, diserahkan kepada kedua belah pihak untuk meneruskan atau memfasakh perkawinan, syarat ini mencakup tiga hal, yaitu;
1.    Jika ayah atau kakek tidak berwenang bertindak karena kurang waras, lalu dikawinkan oleh saudara atau paman, atau dikawinkan dalam masa kecil, maka keduanya boleh melakukan fasakh ketika halangan itu telah berlalu
2.    Kedua belah pihak harus setara (kafa’ah)
3.    Suami bebas dari cacat yang menyengsarakan istri, seperti pengebirian, impotensi dan sejenisnya.
C.Akad nikah melalui telpon
Tujuan pokok dari setiap perkawinan adalah untuk dapat hidup bersamadengan suatu ikatan kekeluargaan yang berlangsung dengan kokoh dan abadi,  untuk mencapai tujuan ini seringkali mengalami masalah-masalahyang tidak hanya terjadi karena faktor intern keluarga saja, tetapi juga jarak yangcukup jauh menyebabkan sulitnya untuk melaksanakan ijab qobul dalam satu majelis. Namun dengan majunya teknologi komunikasi dewasa ini  perkawinan yang tidak dapat dilangsungkan karenaadanya kendala jarak yang jauh memisahkan antara pihak laki-laki dengan pihakperempuan dapat dimungkinkan yaitu melalui telepon, atau alat-alat teknologi lainnya. Akad nikah yang dilangsungkan melalui telpon dimana wali mengucapkan ijabnya di satu tempat dan calon suami mengucapkan kabulnya dari tempat yang jaraknya berjauhan. Meskipun tidak langsung melihat, ucapan ijab dari wali dapat didengar dengan jelas oleh calon suami, begitu pula sebaliknya, ucapan kabul calon suami dapat didengar dengan jelas oleh wali pihak peempuan. Persoalannya adalah bagaimana kedudukan ijab kabul dalam kasus tersebut.
Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majelis bagi ijab dan qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.[33] Pertanyaanya adalah apa yang di maksud dengan bersatu majelis  atau " ittihad majelis " itu?
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menginterpretasikan istilah “ satu majlis “ apakah satu majlis itu diartikan secara fisik, sehingga dua orang yang berakad harus berada dalam satu ruangan, atau diartikan secara nonfisik sehingga ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti “ satu upacara” tersebut, seperti perbuatan atau perkataan yang tidak ada kaitannya dengan acara akad nikah, antara ijab dan kabul harus bersambung.[34]
 Imam Asy-Syafi’i lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik, wali dan calon suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan.Dengan demikian, ijab dan kabul benar-benar sejalan dan bersambung. Kesinambungan ijab dan kabul yang merupakan essensi dari “ satu ruangan” itu merupakan manifestasi kerelaan dan ketulusan dari kedua pihak yang berakad.
Disamping itu bersatunya ruangan akad erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi, yakni memberitahukan pihak lain bila diperlukan, bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Menurut imam Asy-Syafi’i  dua orang saksi harus melihat ucapan ijab dan kabul yang diucapkan oleh mereka. Oleh karena itu Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa kesaksian tuna netra tidak dapat diterima karena tidak dapat melihat langsung pihak yang berakad. Demikian juga akad nikah tidak sah bila dilakukan dimalam gelap gulita tanpa alat penerang.[35]
Lebih lanjut Imam Asy-Syafi’i mengatakan, tugas saksi adalah memberitahu pihak lain bila diperlukan bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Agar dapat melaksanakan tugas, kedua saksi harus mengetahui secara pasti bahwa suami istri itu telah melakukan akad, kepastian itu diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran yang sempurna. Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus pula diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon suami. Apabila wali mengucapkan ijab dengan suara keras dari suatu tempat, kemudian disambut kabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan masing-masing pihak saling mendengar ucapan yang lain, maka akad nikah seperti itu tidak sah, karena kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan demikian menurut Imam Asy-Syafi’i, akad nikah melalui telpon tidak dapat dipandang sah karena syarat tersebut diatas tidak terpenuhi.[36]
Imam Abu Hanifah lebih cenderung menginterpretasikan " ittihad majelis " dalam arti non fisik. Artinya bahwa ijab qabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah, dalam arti bahwa ijab  diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara ijab bubar, qabul diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal yang di sebut terakhir ini , meskipun dua acara berturut-turut secara terpisah bisa jadi dilakukan dalam satu tempat yang sama, namun karena kesinambungan antara ijab dan qabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah. Dengan demikian, adanya persyaratan bersatu majelis, adalah menyangkut keharusan kesinambungan waktu antara ijab dan qabul, bukan menyangkut kesatuan tempat.[37]
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa masalah essensi dari persyaratan bersatu majelis adalah menyangkut masalah keharusan kesinambungan antara ijab dan qabul. Konsekwensi dari pandangan ini, dua orang saksi tidak mesti dapat melihat  pihak-pihak yang melakukan akad nikah. Ibnu Qudamah, salah seorang ahli fiqh dari kalangan Hambali dalam kitabnya al-Mughni menegaskan keabsahan kesaksian dua orang buta untuk akad nikah, dengan alas an bahwa yang akan disaksikan adalah suara. Menurutnya kesksian orang buta dapat diterima, selain ia dapat memastikan secara yakin bahwa suara itu benar-benar dilakukan oleh dua orang yang melakukan akad nikah. Pendapat Ibnu Qudamah  tersebut diikuti oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah.[38]
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta[39] ditanya:  Bila rukun-rukun dan syarat-syarat nikah telah lengkap, namun  antara wali dan calon suami keduanya berada di negeri (daerah) yang berbeda. Apakah dibolehkan melakukan akad nikah melalui telepon?
Jawab:Dilihat pada kebanyakan apa yang terjadi pada masa sekarang berupa usaha penipuan, pemalsuan, dan jeleknya perangai pada perbuatan sebagian orang dengan meniru sebagian yang lain dalam pembicaraan dan menekuni penyamaam suara-suara orang lain, sampai-sampai di antara mereka mampu meniru banyak orang dari gaya laki-laki atau perempuan, tua atau muda, atau meniru suara-suara mereja, bahasa mereka yang berbeda-beda dalam satu tiruan, yang sampai pada telinga pendengar seakan-akan orang yang berbicara terdiri dari beberapa orang, padahal itu hanya satu orang saja.Juga melihat betapa syariat Islam sangat perhatian dalam menjaga kehormatan dan jiwa serta kehati-hatian dalam masalah ini lebih besar dibanding kehati-hatian dalam masalah lain dari sekian jenis ikatan (perjanjian) dalam muamalah.
Lajnah berpandangan bahwa semestinya tidak perlu menyandarkan akad-akad nikah tersebut dalam ijab qabul-nya dan pelimpahan perwalian kepada bentuk komunikasi melalui telepon dalam usaha untuk merealisir tujuan (maksud) dari syariat ini dan perhatian lebih terhadap upaya menjaga kehormatan dan jiwa sehingga tidak mudah dipermainkan oleh orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu dan orang-orang yang berbicara penuh dengan dusta dan penipuan.[40]
Mantan Menteri Agama RI, Said Agil Husen al Munawar ucapnya saat memberikan paparan pada acara sarasehan ulama se-Sulsel di Hotel Grand Imawan, Minggu, 15/12/13. menyebut nikah via telpon atau  internet sah alias tidak perlu dipersoalkan. Alasannya, ijab dan qabul hanya disyaratkan dalam jarak waktu yang terdapat pada satu upacara akad nikah. Pemaknaan ini, kata beliau, tidak bermakna ijab dan qabul harus dilakukan dalam satu tempat dan dihadiri secara fisik. Bisa saja, kata beliau, dua orang yang melakukan ijab dan qabul berjauhan, namun jika punya alat komunikasi yang memungkinkan keduanya melakukan proses pernihakan dalam waktu yang bersamaan, maka hal tersebut tetap dinyatakan satu majelis. “Sehingga akad nikah via telpon atau internet yang dilaksanakan di dua tempat berbeda dianggap sah asalkan syarat dan rukun yang lainnya terpenuhi”
Pandangan yang disampaikan Said Agil ini bersesuaian dengan pendapat ulama Hanafiyyah yang menyebutkan pokok persoalan untuk menentukan status hukum akad nikah adalah pemahaman tentang ittihad al-majlis disamping syarat lain yang harus dipenuhi. Pandangan  Said Agil ini juga sejalan dengan Fatwa Muhammadiyah yang membolehkan akad nikah dengan menggunakan fasilitas alat komunikasi seperti telepon maupun internet. Itu setelah menganalogikan akad ijab qabul yang dilakukan kedua belah pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau utusan. Hanya saja, Said Agil juga memaparkan bahwa Syafi’iyyah, dan Malikiyyah, memberikan pandangan yang berbeda yakni tidak memperbolehkannya, atau hukumnya tidak sah. Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi yang tidak membolehkan nikah via telpon atau internet.  Menurutnya bahwa ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon tidak ada pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah.
Dasar hukum
  1. Kifayatul Akhyar II/5
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ: وَلِىٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
Artinya: (Cabang) dan disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali,calon pengantin dan dua orang saksi yang adil.
  1. Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III/335
وَمِمَّاتَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَبْطُ. (قوله والضبط) أَيْ لألْفَاظِ وَلِىِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ فَلاَ يَكْفِي سِمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأصْوَاتِ تَشْبِيْهٌ.
Artinya :mendengar, melihat dan (dlobith) membenarkan adalah bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi. (pernyataan penyusun ‘wa al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali pengantin putri dan pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz (perkataan) mereka berdua dikegelapan, karena suara itu (mengandung) keserupaan).
Alasan lainya yakni banyaknya tabiat buruk yang berkembang selama ini. Sehingga dengan menikah via internet, sangat mungkin ada perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Ini karena suara atau pengucapan sudah bisa ditirukan. Selain itu, pernikahan via telpon internet tidak secara langsung melibatkan wali, saksi, dan pengantin.  Salah seorang panitia sarasehan, Mallingkai Ilyas mengatakan, acara ini adalah bagian dari upaya mencari solusi atas masalah hukum perkawinan. Ini lantaran, perkembangan hukum kontemporer yang membawa pada perubahan social.[41]
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah hukum keluarga Islam di Indonesia ini dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi Mengenai Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia” memberikan analisis yurisprudensi yang cukup mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon sebagaimana dikukuhkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989. Dalam pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai dengan kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang sesuai dengan kecenderungan Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan putusan yang diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan memberikan penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum ada undang-undang yang secara jelas mengatur mengenai hal ini.[42]
D. Kesimpulan
1.      Ulama mujtahid sepakat mensyaratkan bersatu majelis bagi ijab dan qabul, dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.‎‎
2.      Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Muhammadiyah, meng-interpretasikan makna " ittihad majelis"  secara non-fisik, artinya makna  ijab dan  qabul tidak harus dilakukan dalam satu tempat dan dihadiri secara fisik. Bisa saja, dua orang yang melakukan ijab dan qabul berjauhan, namun jika punya alat komunikasi yang memungkinkan keduanya melakukan proses pernihakan dalam waktu yang bersamaan, maka hal tersebut tetap dinyatakan satu majelis. “Sehingga akad nikah via telpon yang dilaksanakan di dua tempat berbeda dianggap sah asalkan syarat dan rukun yang lainnya terpenuhi.
3.      Imam Asy-Syafi'i, Nahdatul Ulama (NU),   lebih cenderung meng-interpretasikan makna " ittihad majelis"  secara fisik, artinya bahwa wali dan calon suam i  dalam suatu pernikahanharus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan. Dengan demikian, nikah via telpon  tidak diperbolehkan atau tidak sah.
4.      Lajnah Ad-Da'imah berpandangan secara moderat, artinya bahwa lebih baik  tidak menyandarkan akad nikah tersebut melalui telepon dalam usaha untuk merealisir tujuan (maksud) dari syariat ini dan perhatian lebih terhadap upaya menjaga kehormatan dan jiwa sehingga tidak mudah dipermainkan oleh orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu dan orang-orang yang berbicara penuh dengan dusta dan penipuan.














DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Daud Asy-Sajastani , Sulaiman bin Al-Asy-Ats bin Syidad bin Umar al-Azdy, Sunan Abi Daud, Juz 4, Hadits : 1371
Al-Anshori, Abu Yahya Zakaria, Fath al-Wahhab,  Singapura: Sulaiman Mar'y, tt
Dahlan, Abdul Aziz Dahlan (et all), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996
Efendi, Satria, Prolematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta :Kencana, 2004
Ibnu Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisan al-Arab, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990
al-Ja’fi , Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 5, ( Beirut : Dar Ibnu Katsir, 1987
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah  Lil Buhuts al-Islamiyah Wa al-Ifta', No.1373
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
An-Nasa’I,Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I,, Juz 4, Hadits :3155, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1420 H
Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan adat dalam Masyarakat MatrilinialMinang Kabau), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2011), h.195
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, ( Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 90
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004
At-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al- Bayan Fi Tafsir al-Qur’an,
Munawwir,Ahmad Warson, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia ( Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984
al-Zuhayly, Wahbah,  al-Fiqh al-Islamy Wa-Adillatuh, Juz VII , Damsyik : Dar al-Fiqh, 1989
Al-Zajiri,Abdurrahman, al Fiqh ala Mazahib al Arba’ah, Jilid IV, (Beirut Dar al Fikr, 1990













[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia ( Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h.1671-1672
[2]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, ( Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 73
[3]Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab,  ( Singapura: Sulaiman Mar'y, tt), h. 30
[4]Abdul Aziz Dahlan (et all), Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: PT.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.1329
[5] M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1998, h.1
[6]Ibid
[7]Abdul Aziz Dahlan (et all), Op.Cit, h.1329
[8] Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 260
[9]Mohd, Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2004), h. 4
[10]Abdul Rahman Ghazali,Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Group,2008), h. 10
[11]Departemen Agama RI, Alqur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV.Toha Putra Semarang, 1989), h. 549
[12]Mukattab artinya budak yang ditangguhkan kemerdekaannya oleh majikan dengan menyerahkan sejumlah harta  kepada majikannya itu. Maka memukattabkan artinya, majikan menjadikan status budak itu sebagai budk mukattab
[13] Abi al-Hasan Ali Bin Ahmad al-Wahidi, Asbab An—Nuzul, ( Beirut : ‘Alam al-Kutub, t.th), h.245
[14] Ath-habari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al- Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Jalil, t.th), Jilid IV, h. 155
[15] Sulaiman bin Al-Asy-Ats bin Syidad bin Umar al-Azdy Abu Daud Asy-Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz 4, Hadits : 1371, h. 339
[16] Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I,, Juz 4, Hadits :3155 ( Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1420 H), h. 481
[17] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 46

[18] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989),h.36
[19]Ibid
[20] Wahbah al-Zuhayly, al-Fiqh al-Islamy Wa-Adillatuh, Juz VII ( Damsyik : Dar al-Fiqh, 1989), Cet ke-3, h.186
[21] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 135
[22]Ibid
[23] Wahbah al Zuhaili, op.cit
[24] Abdurrahman al Jazairi, al Fiqh ala Mazahib al Arba’ah, Jilid IV, (Beirut Dar al Fikr, 1990, h.26)
[25] Al-San'ani, Op Cit, h. 987
[26]Untuk memahami hadis  لانكاح, maka Hanafiah menakdirkan kata tidak disini dengan sempurna, sedangkan Jumhur menakdirkan kata sah, yang akhirnya menimbulkan kesimpulan yang berbeda bahwa Jumhur berpendapat  tidak sah nikah tanpa wali, yang berarti wali itu merupakan salah satu syarat sah nikah, sedangkan Hanafiah berpendapat bahwa tidak sempurna nikah tanpa ada wali yang berart wali itu sekedar anjuran, yaitu akan lebih baik bila yang mengusahakan akad nikahnya adalah walinya demi menjaga pandangan yang kurang baik. Apabila dia (wanita) sendiri yang mengakadkan, maka pernikahan itu hendaknya sekufu.
[27]Ibid, h. 992
[28] Menurut Yaswirman, pada hakikatnya saksi berfungsi sebagai wakil masyarat bahwa suatu perkawinan sudah disaksikan oleh orang banyak untuk dipertanggungjawabkan secara social, karena kedudukannya sebagai wakil masyarakat, maka criteria merekapun seharusnya orang pilihan. Menurut Abu Hanifah, Asy-Syafi’I, dan Malik saksi merupakan sarat sah perkawinan, sebab saksi sudah berada diluar pihak yang berakad. Di Indonesia, saksi menjadi salah satu dari rukun-rukun perkawinan. Lihat, Kompilasi Hukum Islam , Pasal, 24-26
[29]Ibid
[30] Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan adat dalam Masyarakat MatrilinialMinang Kabau), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2011), h.195
[31] Khunsa musykil adalah yang sulit membedakan alat kelaminnya yang dominan, Lihat,Yaswirman, Op.Cit, h.195
[32]Yaswirman, Op.cit, h. 196
[33]Satria Effendi, Op.cit,h. 3
[34]Abdul Aziz Dahlan (et all), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid.4, h. 1342
[35]Ibid, h. 1343
[36]Ibid
[37] Satri Efendi, Op.cit.,h.3
[38]Ibid, h. 5-6
[39]Lajnah ad-Daimahmerupakan lembaga resmi yang ditunjuk pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia untuk mengurusi perkara berkaitan fatwa, dakwah dan juga wakaf.  Kalau di Indonesia semacam MUI-. Fatwa-fatwa yang keluar selalu menjadi rujukan kaum muslimin di seluruh dunia. Hal ini tidaklah mengherankan karena ulama yang duduk di lembaga tersebut benar-benar terpilih dan keilmuannya sudah diakui dunia.
[40]Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta' no. 1373
[41] Di Unggah di;  http://bugisposonline.com/said-agil-nikah-melalui-internet-sah.htm , Tanggal 07 Mei 2014, jam 20.30 WIB
[42]Satria Effendi, ,Op.cit.,h.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar