Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: PEMIKIRAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Selasa, 16 Agustus 2011

PEMIKIRAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I : PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan di Indonesia pada dasarnya diawali dengan adanya adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang mengenal tidak adanya pembatasan atas harta antara suami istri. Dalam kondisi ini, hak dan kewajiban rumah tangga terutama yang berkaitan dengan masalah pembelanjaan harta diatur secara ketat. Ketentuan hukum Islam pada dasarnya tidak pernah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Tidak ada seorang ulama dari mazhab yang masyhur berbicara perihal harta bersama dalam kitab-kitabnya sebagaimana yang dijelaskan dalam adat istiadat.
Ismuha berpendapat bahwa pada dasarnya pelembagaan harta bersama setidaknya dapat dikategorikan ke dalam bahasan mu’amalah. Ketiadaan pembahasan masalah harta bersama dalam kitab fiqih klasik dapat diterima karena melihat kepada latar belakang perkembangan mazhab tersebut yang berada di daerah Arab. Sementara dalam adat daerah Arab, tidak pernah dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan. Ismuha dan Sayuti Thalib sama-sama berpendapat bahwa pelembagaan harta bersama bisa digolongkan shirkah.
Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Hazairin berpendapat bahwa tidak ditemukan dalam kitab suci agama mana pun perihal harta bersama. Dalam Islam, meskipun pembahasan mengenai harta bersama tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an, hal itu bukan berarti praktek harta bersama dilarang. Praktek harta bersama boleh dilaksanakan dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan harta bersama di Indonesia dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan harta bersama dalam tesis ini dibatasi pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah pemikiran harta bersama di Indonesia dalam perpsepktif hukum Islam? Pertanyaan ini kemudian dikembangkan dalam 3 minor research question, yaitu; apakah pemikiran harta bersama di Indonesia telah sesuai dengan shar’iyyah Islamiyyah ? ; bagaimana kedudukan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ? ; dan bagaimanakah hukum Islam merespon pemikiran harta bersama di Indonesia ?

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui kesesuaian pemikiran harta bersama di Indonesia dengan shar’iyyah Islamiyyah ;
  2. Untuk mengetahui hubungan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ;
  3. Untuk mengetahui respon hukum Islam terhadap pemikiran harta bersama di Indonesia.
Kegunaan Penelitian
  1. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan ;
  2. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
D.    Metodologi Penelitian
Penelitian dalam tesis ini adalah library research (kajian kepustakaan) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah sosio-historis dan yuridis normatif. Pendekatan sosio-historis dipergunakan untuk menguraikan konstruksi hukum. Sedangkan pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk melihat dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sumber primer dalam pembahasan tesis ini adalah Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan harta bersama.

E.     Studi Kepustakaan
  1. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Tesis Doktor yang dibukukan);
  2. J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan (1991);
  3. Lukman Chatib, Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan di Kalangan Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat (1981);
  4. Tim Peneliti Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pelaksanaan Pembagian Harta Kekayaan Suami Istri Akibat Putusnya Perkawinan (1994).
F.      Kerangka Teori dan Operasional

Pemikiran berarti cara atau hasil dari berpikir secara dalam; pendapat yang telah dipikirkan terlebih dahulu sehingga dapat diterima dan dijadikan bahan ilmiah. Harta bersama adalah harta kekayaan yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung di luar hadiah atau hibah, kedua belah pihak yang bekerja tidak mempersoalkan atas nama siapa harta yang didapatkan.
Peningkatan hukum Islam menjadi hukum positif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai bidang hukum. Perkembangan masyarakat Islam di Indonesia pada abad sekarang telah merubah paradigma berpikir. Pemikiran-pemikiran mengenai harta bersama di Indonesia telah dibahas secara sistematis dan dikategorikan dalam bahasan hukum kekeluargaan.

G.    Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.

BAB II : KETENTUAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A.     Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam

Pengertian Perkawinan
  • Pengertian Nikah Secara Bahasa
Term nikah disebut juga dengan perkawinan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-zawj yang berarti al-wat} (bersetubuh atau berhubungan badan), al-d}am (menindih) dan al-jam’u (bersenggama). Nikah mempunyai makna hakiki dan makna majazi. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah secara hakiki adalah konteks hubungan badan. Sedangkan nikah dalam artian majazi adalah adanya akad.
  • Pengertian Nikah Menurut Ulama Ushul
Ulama kelompok Hanafi mendefenisikan nikah secara hakiki dengan adanya hubungan badan. Sedangkan secara majazi, nikah itu adalah akad yang menghalalkan hubungan seksual. Ulama kelompok Syafi’i dan Maliki memberikan defenisi bahwa nikah dalam artian hakiki adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan nikah secara majazi adalah adanya hubungan badan. Perbedaan sudut padang ini berakibat pada perbedaan pendapat terhadap nasab anak yang dilahirkan dari hubungan seksual di luar akad. Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Qur’an dan kepastian hukum, penulis lebih cenderung mendukung pendefenisian nikah sebagai akad yang menghalalkan hubungan seksual.
  • Pengertian Nikah Menurut Ulama Fiqih
Para ulama fiqih memberikan defenisi nikah itu dalam bahasa mereka sendiri. Namun dalam pendefenisian ini, mereka berbeda redaksi dalam penyampaian, namun mempunyai substansi yang sama. Defenisi nikakh yang relevan dan mempunyai aspek hukum dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, “nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, saling bantu membantu dan ada hak serta kewajiban yang diperoleh oleh keduanya”.
  • Hukum Asal Perkawinan
Para ulama sepakat bahwa nikah disyari’atkan dalam ajaran Islam. Perbedaan pendapat terjadi dalam penentuan hukum asal nikah itu sendiri. Dalil-dalil yang dipergunakan adalah QS. al-Nisa’ [4] ayat 3, al-Nur [24] ayat 32, hadits nomor 5066 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Bukhari, hadits nomor 1402 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Muslim. Alasan utama yang menyebabkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan hukum asal nikah itu sendiri adalah dikarenakan perbedaan dalam memahami perintah-perintah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum asal nikah itu adalah sunat, sebagaimana yang dinyatakan Nabi dalam sabdanya bahwa “nikah itu adalah sunnahku”. Ulama dari golongan al-Dzahiri berpendapat bahwa hokum asal nikah itu adalah wajib, karena perintah nikah yang dijelaskan dalam al-Qur’an menggunakan fi’il amr. Sementara itu, hakikat dari amr itu sendiri adalah wajib.

Hukum Perkawinan Dilihat dari Kondisi Seseorang
  1. Wajib, apabila ia telah mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan ia tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya untuk melakukan hubungan badan, sementara ia takut berbuat dosa.
  2. Sunat, apabila seseorang dihukum sunat untuk menikah apabila ia telah mampu untuk berumah tangga dan memikul beban dalam perkawinan, namun ia mampu menahan nafsunya. Namun ia lebih diutamakan untuk nikah.
  3. Haram, apabila seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai kehidupan rumah tangga namun ia sangat ingin menikah. Ia yakin jika seandainya ia menikah, ia akan aniaya.
  4. Makruh, apabila seseorang yang sudah mampu untuk menikah dan tidak takut akan godaan berzina, namun ia khawatir tidak akan mampu memenuhi kewajibannya kepada istrinya.
  5. Mubah, apabila seseorang yang mempunyai kemampuan untuk. Namun ia manikah dengan tujuan pemenuhan syahwat saja, bukan untuk membina keluarga dan keselamatan kehidupan agama.
  6. Sahnya Perkawinan
Rukun Perkawinan
1)      Akad nikah, adanya ijab dan qabul;
2)      Adanya pasangan calon mempelai laki-laki dan perempuan;
3)      Adanya wali dari calon mempelai perempuan;
4)      Adanya dua orang saksi

Syarat Perkawinan
1)      Syarat yang berhubungan dengan akad, seperti kronologis akad, materi akad, tidak muhrim;
2)      Syarat yang harus disempurnakan sebagai suatu susunan, seperti tanpa batasan waktu, kerelaan di antara keduanya, adanya mahar;
3)      Syarat yang berkaitan dengan keabsahan akad, seperti; kemerdekaan suami dan adanya izin dari wali perempuan;
4)      Syarat yang berkaitan dengan kelestarian akad (menurut ulama kelompok Hanafi saja), seperti; hierarki perwalian dan kafaah.

  • Hak dan Kewajiban Suami Istri
  1. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri
1)      Hak bersama suami istri, meliputi hak saling mewarisi setelah berlangsungnya akad nikah, hak untuk saling bergaul dengan baik.
2)      Kewajiban bersama suami istri adalah membina hubugan rumah tangga yang harmonis yang didasari kepada rasa kasih sayang.
  1. Hak istri dalam rumah tangga merupakan kewajiban suami, meliputi hak materil seperti kebutuhan rumah tangga (pangan, sandang, papan) dan non materil seperti bergaul dan menghormati istrinya.
  2. Hak suami dalam rumah tangga merupakan kewajiban istri, meliputi kepatuhan istri terhadap suami dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran.
  3. Nafkah Rumah Tangga
Nafkah dalam konteks ini adalah nafkah dalam bentuk materi berupa pangan, sandang dan papan. Suami diharuskan memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dengan cara yang baik (ma’ruf). Prinsip pemisahan harta dalam perkawinan merupakan kosekuensi logis dari pembebanan pemenuhan nafkah kepada suami, sekalipun istri berasal golongan yang mampu. Dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, harta yang diperoleh setelah menikah menjadi harta bersama, tanpa membedakan siapa yang mencarinya. Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia sekarang menghendaki adanya batasan dan ketentuan pencaharian bersama.

  • Tujuan dan Hikmah Perkawinan
  1. Ditinjau dari aspek agama, perkawinan merupakan ikatan yang teguh bukan saja antara dua orang saja, ia merupakan penyatuan dua keluarga.
  2. Ditinjau dari segi hukum, perkawinan merupakan ikatan kontrak dalam konteks hubungan perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban.
  3. Dalam konteks sosial, perkawinan merupakan ikatan persaudaraan dan rasa kasih sayang sehingga akan menguatkan hubungan masyarakat.
B.     Perkawinan Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
  • Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1).
Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, dan bukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan seksual semata, namun lebih ke arah hubungan jangka panjang yang bahagia dan kekal sejahtera dengan didasarkan kepada prinsip Ketuhanan.
  • Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maksudnya adalah pembinaan rumah tangga secara sah merupakan tanggung jawab kedua belah pihak dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dari sisi materil dan spiritual. Nilai-nilai ketuhanan yang dimaksudkan bertujuan untuk mencapai kondisi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
  • Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing, sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (pasal 2 ayat [1]). Maksud pasal ini adalah, apabila sebuah perkawinan dilakukan dengan menyalahi ketentuan agama, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan dianggap belum pernah terjadi sehingga tidak menimbulkan akibat hukum apapun dan juga tidak mengikat bagi pihak manapun. Perkawinan juga harus dicatatkan (pasal 2 ayat [2]) yang merupakan bukti otentik telah terjadinya hubungan kontrak keperdataan yang berguna untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak.
  • Syarat Sah Perkawinan
Berbeda dengan konsep fiqih, undang-undang perkawinan tidak memberikan penjelasan dan batasan mengenai rukun perkawinan ia hanya memberikan batasan dalam bentuk syarat-syarat. Keabsahan perkawinan yang digantungkan kepada ketentuan keagamaan merupakan inti dalam undang-undang ini. Ketiadaan pembahasan mengenai rukun perkawinan tidak berarti undang-undang ini “lepas tangan” dalam konteks ini. Ia tetap memberikan batasan-batasan tertentu.
  • Syarat Materil yang Berlaku Umum
1)      Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat [1])
2)      Usia minimal pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat [1])
3)      Tidak berada dalam ikatan perkawinan (pasal 9), poligami lain hal.
4)      Tidak sedang ber-iddah (pasal pasal 11)
  • Syarat Materil yang Berlaku Khusus
1)      Tidak melanggar larangan perkawinan (pasal 8-10)
2)      Izin dari orang tua bagi yang di bawah usia minimal (pasal 6 ayat [2])
  • Syarat Formil
1)      Melaksanakan pencatatan perkawinan (pasal 2 ayat [2])
2)      Mengadakan pemberitahuan kehendak perkawinan (pasal 3 ayat [1])
3)      Pelaksanaan pengumuman oleh pengawai pencatat perkawinan
4)      Penandatanganan akta perkawinan (pasal 11 ayat [1])
  • Hak dan Kewajiban Suami Istri
Penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri dijelaskan dalam ketentuan pasal 30-34. Suami istri dibebani kewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar masyarakat. Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga, dan masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam bertindak hukum. Suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga.
  • Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin dijelaskan dalam pasal 29. Perjanjian boleh dibuat ataupun tidak, kedua belah pihak bebas menentukan terkecuali yang berkaitan dengan peniadaan harta bersama dalam perkawinan. Perjanjian yang dilakukan juga harus diketahui oleh Pencatat Perkawinan, dan mengikat para pihak yang disebutkan di dalamnya.

C.     Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
  • Dasar-dasar Perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqa ghalidha untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2). Tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (pasal 3).
  • Rukun dan Syarat Perkawinan
KHI menjelaskan rukun dan syarat perkawinan yang diakomodasi dari ketentuan fiqih klasik. Rukun perkawian dijelaskan dalam pasal 14, yaitu; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab kabul. Sedangkan syarat nikah disesuaikan dengan undang-undang. Dalam KHI, batasan minimal bagi calon mempelai laki-laki adalah 21 tahun dan 19 tahun bagi perempuan.
  • Perjanjian Perkawinan
Berbeda dengan undang-undang, KHI mengatur perjanjian kawin secara panjang lebar dalam pasal 45-52. Taklik talak dikategorikan sebagai perjanjian kawin. Berkaitan dengan harta, boleh dilaksanakan perjanjian.

BAB III : SUMBER DAN KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA

A.     Ruang Lingkup Harta Kekayaan Bersama
  • Penghasilan Suami Istri
Harta dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35 undang-undang perkawinan. Harta yang dihasilkan oleh masing-masing individu setelah berlakunya akad perkawinan menjadi harta yang dikuasai secara bersama. Harta pencaharian suami istri menjadi harta bersama sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11 Maret 1971.
  • Harta Benda yang Dibeli Selama Perkawinan
Semua harta benda yang dimiliki dengan pembelian setelah perkawinan menjadi harta bersama. Objek batasan dalam konsep ini adalah waktu pembelian harta tersebut, bukan dengan harta masing-masing pihak. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1970.
  • Penghasilan Harta Pribadi
Dalam konteks harta pribadi yang telah dimiliki sejak sebelum perkawinan, maka yang menjadi harta bersama hanyalah penghasilan yang didapatkan setelah akad, objek pokok dari harta tersebut tetap milik pribadi.
  • Harta yang Dibuktikan Diperoleh dalam Perkawinan
Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan dikategorikan sebagai harta bersama. (Mahkamah Agung No. 808 K/Sip/1974).
  • Harta yang Dibeli Sesudah Perceraian
Suatu harta atau benda bisa dikategorikan sebgai harta bersama apabila harta tersebut dibeli dengan menggunakan harta bersama, sekalipun telah terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803/Sip/1972 tanggal 5 Mei 1970.

B.     Perkawinan dan Harta Bersama Dalam Perspektif Hukum Adat

Bentuk Perkawinan
  • Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal
Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah dengan mengambil calon istri dari luar clan sendiri, seperti kawin jujur di daerah Gayo dan Batak. Dalam perkawinan ini, pihak keluarga istri menyerahkan perempuan sebagai magis-religious sehingga istri terlepas dari pertalian darah keluarganya dan masuk dalam keluarga suaminya secara utuh dan tidak ada pemisahan harta. Harta yang diperoleh istri dari orang tuanya menjadi hak milik dan dikuasai oleh suaminya. Di daerah Lampung, juga berlaku konsep patrilineal beralih-alih.
  • Bentuk Perkawinan Masyarakat Matrilieal
Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah, laki-laki yang mengawini perempuan tetap berada dalam clan atau kekeluargaan masing-masing, namun keturunan akan ditarik dari garis ibu, seperti yang berlaku di daerah Minangkabau Sumatera Barat (corak exogami).
  • Bentuk Perkawinan Masyarakat Parental
Konsep masyarakat parental adalah keturunan yang dilahirkan menjadi bagian dari keluarga kedua belah pihak.

Harta Bersama Menurut Hukum Adat
  • Harta Bawaan Suami Istri
Masyarakat patrilineal dalam kawin jujur, harta bawaan masing-masing pihak dikategorikan harta bersama yang dikuasai oleh suami. Berbeda dengan masyarakat matrilineal.
  • Harta Penghasilan Suami Istri
Berbagai istilah dipergunakan dalam mendefenisikan harta bawaan di Indonesia. Harta ini tetap menjadi milik pribadi setelah perkawinan.
  • Harta Pemberian yang Ditujukan Kepada Suami Istri
Masyrakat patrilineal mengenal harta bawaan yang termasuk di dalamnya hibah atau warisan sebagai harta milik pribadi yang tidak akan berpidah penguasaannya. Pada masyarakat matrilineal Minangkabau, tidak harta warisan yang dapat dimiliki secara pribadi. Harta atau “pusako” adalah milik suatu keluarga, dan hanya bisa dipakai, tidak dimiliki pribadi. Pada masyarakat patrilineal Batak, harta yang diperoleh istri akan menjadi milik bersama di bawah penguasaan suami.
  • Harta pencaharian bersama suami istri
Ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk harta jenis ini. Namun dalam pembagiannya tetap secara adil dengan membagi dua harta tersebut. Hal ini diperkuat dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 393 K/Sip/1958 tanggal 7 Maret 1959.

C.     Harta Bersama Dalam Perspektif Burgerlijk Wetboek (BW)
Pembahasan harta bersama dalam BW dijelaskan dalam bab VI pasal 119-138. Harta bersama dalam perkawinan tergantung dari ada atau tidaknya perjanjian yang dibuat sebelumnya (huwelijkse voorwaarden). Perkawinan merupakan institusi peleburan harta secara bulat, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian. Keberadaan perjanjian mengenai harta diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan norma susila dan dilaksanakan di hadapan notaries dalam bentuk akte. Meskipun harta tersebut adalah harta bersama, dalam penggunaannya istri harus mendapatkan persetujuan suami karena ia tidak cakap hokum (albekwaam).

D.    Harta Bersama Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Harta bersama diatur dalam pasal 35-37. Undang-udang ini mengakui adanya pencampuran harta secara terbatas. Harta bawaan masing-masing pihak seperti harta dari hibah atau warisan diakui dalam perkawinan dan berada di bawah penguasaan masing-masing. Harta yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama tanpa memperhatikan siapa yang mencarinya. Suami dan istri diberikan hak dan kewajiban untuk menjaga dan menggunakannya.

E.     Harta Bersama Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
KHI mengakui adanya pelembagaan harta bersama suami istri dalam perkawinan (pasal 85-97). Keberadaan harta bersama dengan harta bawaan adalah terpisah, meskipun ada percampuran harta. Harta bawaan tetap dikuasai secara pribadi, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian. Apabila terjadi perselisihan yang berkaitan dengan masalah harta, harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Suami istri bertanggung jawab untuk menjaga harta tersebut dan merhak untuk menggunakan harta kekayaan bersama.
Harta bersama dapat dijadikan barang jaminan (borg) yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta surat berharga. Hutang keluarga terpisah dengan hutang pribadi. Harta bersama dalam perkawinan poligami dihitung berdasarkan tanggal pelaksanaan perkawinan. Kedua belah pihak berhak untuk mengajukan sita jaminan terhadap harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama akibat cerai hidup ataupun cerai mati adalah seperdua.

BAB IV : PELEMBAGAAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.     Kedudukan Harta Bersama dalam Hukum Islam
  • Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan
Hukum Islam memberikan hak secara bebas kepada masing-masing individu untuk memiliki harta tanpa digugat oleh siapapun. Dalil yang dipergunakan adalah QS al-Nisa; [4] ayat 32, yang kemudian dipertegas dengan QS al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS al-Thalaq [65] ayat 7. Ketiadaan pelembagaan harta bersama itu merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab suami selaku kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarganya dalam hal nafkah. Usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga, semuanya harus dilaksanakan dengan mufakat. Hanya saja, suami harus menyadari bahwa pemenuhan nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya.
  • Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri Kecuali dengan Shirkah
Kewajiban seorang suami adalah memberikan sebagian hartanya dalam konteks nafkah kepada keluarganya. Percampuran harta yang diperoleh suami dengan harta istri dalam perkawinan dinamakan dengan shirkah, yang dapat terjadi secara resmi dan mengikuti persyaratan tertentu. Sayuti Thalib menyatakan bahwa shirkah ini sangat penting mengingat dalam kenyataan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ismuha menyatakan bahwa harta bersama suami istri dikategorikan dengan shirkah ‘abdan al-muwafad}ah.
  • Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan
Pendapat ini menyatakan bahwa ada harta bersama dalam perkawinan meskipun sebelumnya tidak diadakan perjanjian dalam bentuk shirkah, sebagaimana yang dimaksud dalam QS al-Nisa’ [4] ayat 21. Penentuan mengenai harta bersama dalam perkawinan merupakan kewenangan masyarakat untuk menentukan dengan catatan tidak menyalahi ketentuan yang ada. Keberadaan harta bersama berpijak dari kebiasaan (‘urf).

B.     Pencaharian Bersama Antara Suami Istri Ditinjau dari Sudut Syirkah
  • Istilah dan Pengertian Shirkah
Secara etimologi, shirkah berarti persekutuan. Juga diartikan dengan percempuran dua hal atau lebih dan tidak dapat dipisahkan lagi. Secara terminologi, dapat disimpulkan shirkah adalah bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha di mana kedua belah pihak mempunyai kontribusi dan berkomitmen untuk menanggung laba dan rugi bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu.
  • Dasar Hukum Shirkah
Dasar hukum pelaksanaan shirkah adalah QS al-Nisa’ [4] ayat 12 dan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hadits nomor 3383 dalam kitab Sunan Abu Daud.

  • Bentuk-bentuk Shirkah
  1. Sharikatu al-Inan (perserikatan terbatas), merupakan perserikatan harta antar dua orang atau lebih dalam pembentukan suatu usaha. Pengelolaan dilakukan secara bersama dengan pembagian yang sudah ditentukan, tanpa harus disyaratkan persamaan modal.
  2. Sharikatu al-Muwafad}ah (perserikatan tak terbatas), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan porsi yang tidak ditentukan, baik dalam modal ataupun pengelolaannya.
  3. Sharikatu al-‘Abdan (perserikatan tenaga), merupakan perserikatan yang yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam mengelola dan mengerjakan suatu pekerjaan dengan pembagian yang disepakati.
  4. Sharikatu al-Wujuh (perserikatan kepercayaan), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan modal yang diberikan dari pihak luar.
  5. Sharikatu al-Mud}arabah, merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan orang mempunyai keahlian dalam berdagang, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan rugi ditanggung oleh pemilik modal.
C.     Wewenang Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 36 UUP, dapat disimpulkan bahwa suami dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan istri dan demikian juga sebalikya. Wewenang suami dan istri terhadap harta bersama adalah menjaganya, dan menggunakannya secara bertanggung jawab (KHI pasal 89-90). Harta bersama merupakan harta yang dalam pengaturannya harus dilakukan secara bersama guna menjaga keserasian dan keseimbangan dalam keluarga.

D.    Pembagian Harta Bersama
Pelembagaan harta bersama yang dimaksud undang-undang merupakan perwujudan dari kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan adat masyarakat. Apabila suatu perkawinan putus, maka pembagian harta ditentukan oleh masing-masing (pasal 37). Ketentuan pasal ini ternyata sangat kontradiktif dengan berbagai ketentuan yang sudah disahkan sebelumnya. Yahya Harahap dan Hazairin menghendaki adanya penafsiran yang lebih rinci terhadap pasal ini. Mahkamah Agung pun dalam putusan No. 51K/Sip/1956 dan 424 K/Sip/1959 menyatakan bahwa pembagian harta bersama adalah seimbang. Bagi warga Negara yang beragama Islam, pasal 97 KHI merupakan pelaksanaan dari paal 37 UUP.

E.     Implikasi Harta Bersama Terhadap Warisan
Implikasi harta bersama terhadap warisan berdasarkan ketentuan yang berlaku, akan mempunyai akibat yang berbeda, tergantung pada hukum agama dan adat yang dianut. Sumber pelaksanaan warisa masih bervariasi di kaangan masyarakat. Namun, sebelum harta warisan dibagikan, harta bersama harus dibagikan terlebih dahulu, dan dibayarkan semua hutang yang bersangkutan.

F.      Analisa Pelembagaan Harta Bersama di Indonesia
UUP merupakan salah satu bentuk unifikasi peraturan yang bersifat nasional yang di dalamnya ditentukan pelembagaan harta bersama. Meskipun tidak ada anjuran atau larangan dalam al-Qur’an dan hadits yang membahas masalah harta bersama, namun kebutuhan pengaturan untuk pemagian harta bersama sangat dibutuhkan dalam masyarakat untuk membangkitkan tanggug jawab dalam rumah tangga. Ketentuan ini mengakui adanya harta bawaan yang dikuasai sepenuhnya secara pribadi dan keberadaan harta bersama. Hazairin memandang bahwa pengaturan ini sudah sesuai dengan syari’at Islam. Ismuha berpendapat bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris mengakibatkan adanya pembentukan shirkah ‘abdan al-muwafad}ah dalam harta. Pemikiran ini perlu dikaji ulang mengingat semakin berkembangnya lapangan pekerjaan, sehingga dibutuhkan suatu solusi yang adil dan berimbang. Pelembagaan harta bersama ini menghilangkan pandangan bahwa istri kurang atau bahkan tidak berperan dalam pembentukan harta bersama.
Keberadaan KHI pasal 89-97 merupakan bentuk ijtihad kontemporer untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi selama ini di Indonesia, yang kemudian menjadi terobosan baru dalam pembanguan hukum di Indonesia. Pertimbangannya adalah kemashlahatan dalam rumah tangga dan dapat dibuktikan.

BAB V : PENUTUP

A.     Kesimpulan
  1. Pelembagaan harta bersama dalam UUP dan KHI merupakan hasil ijtihad umat Islam yang sejalan dengan ajaran dalam syari’at Islam.
  2. Shirkah ini tidak bisa disamakan dengan shirkah dalam mu’amalah. Penelitian Ismuha hanya mencari landasan hukumnya saja, bukan dalam rumah tangga.
  3. Pelembagaan harta bersama di Indonesia merupakan terobosan baru dalam menjamin hak-hak suami istri dalam rumah tangga.
B.     Saran-saran
  1. Pemikiran perkembangan hukum Islam juga harus berorientasi kepada konteks sosial agar bisa menjawab permasalahan kontemporer masyarakat.
  2. Penyebarluasan peraturan yang berkaitan dengan pelembagaan harta bersama dibutuhkan agar dipahami oleh kalangan masyarakat.
  3. Diharapkan Departemen Agama –sekarang Kementerian Agama—mengadakan sosialisasi UUP dan KHI terhadap masyarakat.
  4. Diharapkan kepada mahasiswa Fakultas Syari’ah agar bisa menjadi lokomotif dalam pengembangan pemikiran hukum Islam di era kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar