Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: HUKUM DAN POLITIK PASCA-KEMERDEKAAN INDONESIA : Studi Kasus Antara Peradilan Agama & Adat

Selasa, 16 Agustus 2011

HUKUM DAN POLITIK PASCA-KEMERDEKAAN INDONESIA : Studi Kasus Antara Peradilan Agama & Adat

PROLOG
Perubahan dari bentuk Negara penjajahan ke pemerintahan yang berdaulat tidak langsung membawa perubahan atau menghasilkan pengaturan hukum secara menyeluruh di Republik Indonesia[2]. Pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, hukum di Indonesia pada dasarnya sudah mulai mengalami perubahan sedikit demi sedikit, semenjak Jepang tiba di pulau Jawa[3]. Karena sebagian besar elit bangsa, pada awal kemerdekaan adalah para elit yang sudah mendominasi panggung perpolitikan sejak masa penjajahan, ide-ide revolusioner sifatnya dari elemen masyarakat kalangan bawah belum mampu terpenetrasikan menjadi jargon umum. Para elit politik ini memang belum begitu tertarik dengan elemen-elemen sosial radikal yang dibutuhkan dalam pranata sosial warusan penjajahan. Strategi untuk melakukan revolusi sosial atau segenap perubahan sosial hampir tidak disebutkan secara resmi di antara sektor hukum pada masa ini[4]. Indikasi gejala tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan bahwa; “Semua badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Pemerintah yang baru telah memaksakan untuk memperkenalkan kembali berbagai hukum yang diwarisi dari masa kolonial. Sebagai salah satu contoh adalah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Wetboek van Starfrecht (WvS) yang dibuat pada Tahun 1915, yang kemudian dilanjutkan menjadi peraturan hukum pidana di Indonesia, kecuali untuk wilayah yang berada di luar pulau Jawa, di mana berbagai peradilan adat masih tetap beroperasi. Pada akhirnya, hanya ada beberapa pasal hukum yang diwarisi dari Belanda yang diberlakukan melalui aturan hukum nomor 80 tahun 1932[5].
Perubahan iklim perpolitikan negara dipengaruhi oleh kedua peradilan, yaitu peradilan agama dan peradilan adat, kendati pun kekakuan pada kedua tradisi hukum tersebut dapat bertahan dalam pergolakan politik pada setengah abad pertama. Pada akhirnya, penempatan keduanya, antara peradilan adat dan agama pasca-kemerdekaan Indonesia akan dianalisis dengan menyoroti perubahan perpolitikan masing-masing. Bagian Pertama akan menjelaskan perdebatan berkenaan dengan kelompok “pluralis” dan “uniformis” pembangunan hukum pada Republik muda Indonesia, sementara itu pembahasan kedua berisikan perdebatan antara “nasionalis sekuler” dengan “muslim”. Pembahasan yang disajikan pada bagian tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pemahaman terjadinya kontroversi hukum yang tidak diharapkan muncul sebagai hasil dari pergeseran filsafat hukum kolonial ke filsafat hukum nasional.

ISU-ISU HUKUM PADA KEMERDEKAAN INDONESIA[6]
Terdiri dari beribu-ribu pulau[7], kepulauan Indonesia dihuni oleh berbagai etnis, sosial, agama dan kelompok kebudayaan, yang masing-masingnya mempunyai kebiasaan khas/budaya dan jalan hidup[8]. Untuk merangkul keberagaman ini, Republik Indonesia telah membuat sebuah semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, atau “bersatu dalam perbedaan”. Perbedaan ini terlihat jelas dalam dualisme hukum yang berlaku di Negara yang dipersatukan. Pada pertengahan masa pasca-kolonial, beberapa kategori hukum bertahan dalam era transisi dari pemerintahan kolonial Belanda: (1) hukum-hukum yang mengatur tentang kependudukan, seperti; Hak Milik Industri dan Hak Paten; (2) hukum adat setempat yang dipakai untuk penduduk pribumi Indonesia; (3) hukum Islam yang dipakai untuk seluruh warga Negara Indonesia yang beragama Islam; (4) hukum yang dikhususkan untuk komunitas tertentu di Indonesia, seperti; hukum perkawinan bagi warga Negara Indonesia yang beragama Kristen; dan (5) ketentuan-ketentuan Burgelijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel, yang ada dasarnya diberlakukan bagi warga negara Eropa saja, namun kemudian mengalami perluasan bagi warga Negara Cina. Ketentuan-ketentuan tertentu yang pada akhirnya, walau bagaimana pun diumumkan agar diberlakukan bagi warga pribumi Indonesia.
Semangat bangkit dari keterpurukan karena kekuatan kolonial, dan tuntutan kedaulatan, para pemimpin baru Indonesia cenderung memandang bahwa hukum adalah bagian “rasional-legal” dari sebuah Negara. Sebuah politik hukum baru secara natural harus dibentuk untuk menggantikan politik hukum kolonial[9]. Namun demikian, kenyataannya pluralisme hukum negeri ini memberikan semangat untuk melakukan reformasi hukum yang terasa masih terlalu dini. Berbagai kontroversi hukum yang tidak diharapkan muncul di antara kubu yang saling berlawanan antara kelompok “pluralis” dengan kelompok “uniformis” pada satu sisi; dan kelompok “nasionalis-sekuler” dengan kelompok “muslim” pada sisi lainnya. Pada masa sebelumnya, perdebatan berpusat pada gagasan unifikasi hukum dan/atau pluralisme antara dalam hukum terhadap hubungannya dengan hukum adat yang pada akhirnya terfokus pada perbincangan mengenai hukum Islam.

PLURALIS VS. UNIFORMIS
Konsep kenegaraan biasanya dihubungkan dengan penyebaran keseragaman peraturan bagi pemerintah pusat, tidak tergantung dari etnis, agama dan status sosialnya[10]. Bagi kebanyakan pemimpin, hal ini hanya bisa dicapai dengan mengadakan unifikasi hukum. Berdasarkan tindakan ini, Indonesia –telah mempunyai alasan—untuk bergegas menuju modernisasi. Dengan prinsip “persamaan hak hukum/equality before the law” sebagai semboyannya, pemerintahan yang baru dijauhkan dari pelengseran keputusan oleh kekuasaan kolonial Jepang untuk menghapuskan komposisi penganut paham dualisme dalam sistem peradilan. Dualisme struktur peradilan dengan mengadakan pembedaan orang-orang Eropa dari pribumi sudah diganti dengan sebuah hirarki tiga lembaga peradilan dengan menggunakan sebuah undang-undang prosedural bagi seluruh warga Negara Indonesia[11].
Kendatipun terjadi kemajuan seperti yang dijelaskan di atas, penghapusan hukum kolonial secara mutlak beserta penggantiannya dengan sebuah peraturan perundang-undangan yang seragam adalah sebuah tugas berat untuk dilaksanakan dalam keberagaman negeri seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan ketidak-stabilan iklim perpolitikan pasca-kolonial yang mengharuskan pemimpin negeri ini untuk memberikan fokus lebih terhadap penyelesaian masalah persatuan nasional daripada masalah inovasi kelembagaan. Sebagai konsekuensinya, unifikasi hukum di Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan terbukti tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Proses unifikasi hukum telah dilakukan, sebagai buktinya isu pertama yang diangkat oleh pemimpin baru republik ini dipenuhi dengan keinginan untuk menghapus hukum kolonial. Fakta yang terjadi ternyata strategi-strategi teoritis unifikasi hukum di Indonesia terhalang untuk diberlakukan dalam prakteknya. Berbagai kesulitan menjadi sebuah konsekuensi, tidak hanya pluralitas keagamaan dan nilai-nilai kebudayaan yang mengakar dalam masyarakat; akan tetapi faktanya sistem peradilan modern yang telah digambarkan oleh aparat kolonial[12]. Di samping itu, hukum kebudayaan pribumi yang dikemukakan oleh para hakim Indonesia pada saat itu, berselisih dengan keinginan untuk membangun “persamaan hukum”. Jadi, sementara mereka mungkin sedang menyajikan diri mereka sendiri sebagai orang yang menerangkan hukum Islam atau hukum adat, visi mereka terhadap hukum nasional jarang melampaui batas-batas filsafat hukum kolonial.
Upaya mempertahankan kerangka sistem hukum terdahulu pada dasarnya merupakan suatu kewajiban jika republik muda ini ingin menghindari terjadinya kekosongan hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan pertikaian kelompok sosial mungkin akan membantu terjadinya persaingan perpolitikan dan doktrin hukum. Hal ini menjelaskan alasan mengapa Pasal II Aturan Peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang menaruh kepercayaan pada pluralisme hukum, merupakan suatu kebutuhan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lev, hal ini “bukan hanya berkaitan dengan kenyamanan semata … juga bukan karna tidak sesorang pun yang mempunyai ide”; lebih dari itu “… hukum kolonial menyajikan sebuah ketersediaan dan kerangka yang tepat”, dan hukum ini “… adalah sebuah … sekulerisme netral di antara konflik keagamaan dan kelompok sosial … hal ini akan menjaga keberadaan dominasi elit dalam melakukan pengawasan terhadap institusi nasional”[13].
Bagaimanapun, revolusi disajikan sebagai daya dorong nasional untuk melucuti kekuatan kolonial dalam segala bentuknya[14]. Di beberapa daerah, hal ini ditandai dengan mobilisasi yang mengakar untuk mengikis elit setempat melalui adopsi terhadap institusi nasional. Momentum dalam pergerakan ini memudahkan langkah pertama yang sebenarnya dalam melakukan unifikasi hukum.
Sebagai sebuah harapan, dekolonialisasi dan nasionalisasi hukum di Indonesia mempunyai konsekuensi langsung terhadap institusi hukum adat. Terutama untuk wilayah di luar pulau Jawa, ledakan peradilan hukum adat yang berproses berangsur-angsur sedikit demi sedikit namun berlangsung terus menerus, sebuah mobilisasi sosial membantu pembangunan instansi-instansi nasional. Reorganisasi institusi peradilan bisa dikategorikan sebagai sebuah strategi politik yang bertujuan untuk unifikasi tingkat awal, negeri pluralis berada di bawah payung kekuatan yang terpusat. Dalam lingkungan peradilan, hal ini membuat pemerintah pusat berada di bawah tekanan untuk memaksakan penyederhanaan sistem peradilan dan terlebih lagi untuk menghapus semua lembaga peradilan yang berada di bawah kekuatan daerah. Hal ini sangat kontras untuk diberlakukan di pulau Jawa, di mana para aparat pemerintah relatif biasa dengan keinginan untuk adanya unifikasi hukum. Di luar pulau Jawa, iklim perpolitikan seperti yang berkaitan dengan usaha unifikasi hukum terbukti bermasalah.
Tujuan pemerintah yang berkenaan dengan unifikasi hukum, berarti adanya unifikasi pada tingkat nasional dijelaskan dengan pengundang-undangan Undang-undang Nomor 7 pada tanggal 27 Februari 1947. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1947 diundang-undangkan Undang-undang Nomor 23 yang menerangkan penghapusan peradilan adat untuk wilayah Jawa dan Sumatera. Lev mencatat bahwa klarifikasi undang-undang ini menunjukkan pengesahan yang kuat tentang politik persatuan.
Perubahan lebih jauh pada unifikasi peradilan ditandai dengan pengundang-undangan undang-undang pada bulan Juni 1948. Berkaitan dengan reasumsi kekuatan tentara Belanda di negeri ini, undang-undang ini tidak pernah mendatangkan pengaruh, akan tetapi gagasan untuk melakukan unifikasi hukum sudah mengakar di masyarakat[15]. Hal yang paling signifikan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948[16] hanya memperkenalkan 3 lingkungan peradilan pemerintah, yaitu; peradilan umum, peradilan pemerintah dan peradilan militer. Peradilan umum terdiri dari tiga tingkatan sebagai berikut: Pengadilan Negeri pada tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi pada tingkat banding dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Anehnya, tidak satupun ditemukan baik pengadilan agama[17] ataupun pengadilan adat dalam ketetapannya. Seperti sebuah penghilangan mengkhianati sebuah tindakan tidak pantas terhadap pembangunan hukum baru Indoesia dalam menyerap kompleksitas konflik yang diwariskan antara orang yang memperjuangkan keberadaan hukum adat dan hukum agama.
Berkaitan dengan hukum adat, pasal 10 Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 menetapkan bahwa kekuasaan hukum residen pada sebuah wilayah diizinkan untuk melanjutkan menengahi konflik-konflik tertentu dan kejahatan yang melingkupi “hukum kebiasaan masyarakat”[18]. Secara berangsur-angsur namun berkesinambungan setiap kejadian atau peristiwa yang memarginalisasikan pengadilan adat telah dilakukan oleh penegak hukum. Kenyataannya, apa yang disebut dengan “hukum kebiasaan masyarakat” juga dikamuflasekan “sebuah ketegangan isu yang meningkat antara pihak-pihak yang diawasi oleh pemerintahan nasional dan kekuatan Islam”. Konflik yang terjadi antara sekelompok orang yang memperlakukan konsep receptie Belanda --yang tidak dikenal dalam Islam—hanya untuk memperluas bahwa hal ini telah diserap oleh hukum adat, dan kelompok lain yang mengakui bahwa hukum Islam merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat, paling kurang untuk beberapa waktu terdiam. Melihat kenyataan bahwa term “hukum kebiasaan masyarakat” bisa dipergunakan untuk pengertian hukum Islam atau adat, pemerintah mengambil inisiatif dengan memberikan izin pemberlakuan kedua status hukum –hukum Islam dan hukum adat—ini, dengan harapan bisa menghilangkan sumber terjadinya konflik.
Situasi ini terus berlangsung sampai munculnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Tahun 1949. Pada tanggal 17 Agustus 1950, pemreintahan RIS pun dibubarkan. Berdasarkan kedaulatan, usaha untuk memperluas yuridiksi institusi nasional telah berlaku di wilayah Indonesia. Apakah dilemma ini akan menjadi ide unifikasi semangat perjuangan nasional, atau keberadaan realisme-pluralisme telah ditentukan oleh ideologi dan kosiderasi politik yang membuka jalan kemenangan bagi kelompok yang menghendaki unifikasi. Unifikasi hukum pada kenyataannya dipahami tidak hanya sebagai sebuah argumen sosial atau argumen yuridis, tapi di sisi lain juga menciptakan pemusatan kekuatan politik, ketika hukum adat berada dalam makna sebenarnya[19]. Perselisihan yang meletus pada saat ini tiak hanya isu unifikasi hukum vis-à-vis pluralisme hukum per se, akan tetapi sudah melibatkan berbagai argumentasi menantang dalam usaha sentralisasi kekuatan Negara vis-à-vis yang pada saat ini sedang ter-desentralisasi. Seperti itu, hukum pada saat ini telah terkait erat dengan politik.
Sejak tahun 1950-an, para pemimpin Indonesia telah dihadapkan pada tantangan untuk membangun suatu sistem hukum yang koheren dengan realitas pluralisme negeri ini tanpa mengenyampingkan keberagaman etnis, kebudayaan dan praktek sosial yang berlaku di kalangan masyarakat. Kelompok terdahulu dipresentasikan sebagai orang-orang yang berusaha keras untuk melakukan modernisasi Indonesia, perdebatan bahwa negeri akan menyesuaikan dirinya sendiri dalam bentuk Negara merdeka “modern” jika pertumbuhan dan perkembangan mereka didukung sepenuhnya. Hal ini hanya dapat terjadi apabila “… jika suatu sistem hukum terartikulasi dengan baik yang semaksimalnya dapat merefleksikan kesatuan Indonesia”[20] ditempatkan dengan tepat. Oleh karena itu, hukum adat sebagai sebuah simbol otonomi daerah bagi mereka seolah-olah “terbelakang” dan anti-modern. Kalangan pluralis, berpendapat bahwa praktek hukum yang mungkin diberlakukan pada masyarakat seperti Indonesia bersifat pluralistis. Kalangan pendukung hukum adat menyetujui perubahan kondisi sosial semata-mata merupakan proses pembangunan hukum karena pada tingkatan fungsional, hukum harus bisa mengakomodasikan dirinya sendiri pada kondisi sosial. Lebih penting lagi, mereka membantah ketidak-mungkinan memulai usaha unifikasi hukum ketika kondisi sosial yang membantu perkembangannya terpecah menjadi beberapa kepingan. Bagi kalangan ini, hukum adat dilanjutkan untuk dihormati sebagai sebuah simbol kebanggaan nasional yang menggaris-bawahi identitas masyarakat pribumi Indonesia yang harus dihargai dan tetap dipelihara. Itulah dua argumen yang memonopoli perdebatan mengenai hukum di Indonesia sampai akhir tahun 1950-an; tentu saja, sebagai jantung sebuah Negara “perkembangan alami hukum di Indonesia yang independen sebagian besar sudah dideterminasi oleh opini-opini --para pengacara Indonesia—tentang peran hukum adat”[21].
Perkembangan selanjutnya sebagaimana yang terlihat tentu saja akan memudahkan pengenalan hukum adat. Di tengah ledakan konflik antara Indonesia dengan Belanda perihal pembebasan Irian Barat, semangat untuk menghapus semua sisa-sisa kolonial dari Indonesia mendapatkan momentumnya. Pada area hukum, keinginan untuk memelihara hukum adat sebagai sebuah simbol semangat nilai-nilai pribumi secara mendadak dapat dipercaya. Pergeseran ini ditandai dengan perubahan simbol resmi sistem hukum di Indonesia. Dewi Yustisia, sebuah simbol keadilan Eropa diganti dengan simbol pohon beringin pada tahun 1960 yang dalam kebudayaan Jawa diartikan dengan pengayoman. Pada Tahun yang sama, Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor II/MPRS/1960, secara eksplisit memperkenalkan hukum adat sebagai sumber perkembangan dan elaborasi hukum di Indonesia[22].
Surat ketetapan yang memperkenalkan hukum adat tidak dengan “tegas”; di situlah ditegaskan bahwa hukum adat “tidak menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur”. Sebuah frase ambigu, tentu saja tidak dapat dielakkan akan mengundang persaingan interpretasi dan pernyataan dari para sarjana terkemuka. Muhammad Koesnoe, mencontohkan penolakan pengakuan merupakan salah satu belenggu bagi hukum adat pada waktu itu. Sebagai tokoh terkemuka dalam kelompok ini, ia membantah bahwa kondisi yang dipaksakan untuk hukum adat adalah tidak relevan sebagai kondisi mereka sendiri dalam ungkapan karakteristik hukum yang mendesak. Hukum adat adalah suatu hukum dinamis yang berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Dalam konsepsinya, hukum adat akan disajikan sebagai dasar hukum nasional, bukan dalam pengertian substanstif, tapi dalam hal prinsip, postulat, dan nilai-nilai dasar. Argumen penentang menyebutkan bahwa karakteristik hukum adat itu “terbelakang” dan tidak jelas karena bisa jadi ia diakibatkan kesalahan dalam membaca dan memahami hukum. Sarjana lain yang tidak menentang ketetapan secara terbuka, mengajukan argumen melawan kelompok pro-adat. Sebagai contoh adalah Simorangkir, ia membantah bahwa hukum adat terhambat oleh modernisasi masyarakat, sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis, hukum adat hanya akan melahirkan ketidak-pastian hukum[23].
Walau bagaimanapun, pro dan kontra argumen untuk atau melawan pemasukan hukum adat dalam kehidupan publik Indonesia, ambivalensi antara para pemimpin nasional dalam pertanyaan mengenai pluralitas vis-à-vis keseragaman hukum bisa dikesampingkan. Aktualnya, dilema yang dihadapi oleh pemimpin baru Indonesia pada dasarnya masih sama dengan pembuat politik kolonial yang dihadapi setengah abad sebelumnya, ketika argumen-argumen yang dibicarakan pada hari ini adalah antara kelompok liberal dengan konservatif atau universalis dan partikularis. Perubahan simbol hukum nasional, pergeseran dari lambang Dewi Yustisia menjadi pohon beringin terbukti lebih mudah dibandingkan usaha mengganti substansi hukum itu sendiri[24].
Antusiasme pemimpin nasional akan upaya rekonstruksi hukum disambut dengan TAP MPR RI Nomor II/MPRS/1960 yang bisa terlihat dalam pembentukan Undang-undang Agraria pada Tahun 1960. Undang-undang ini mampu merefleksikan berbagai kesulitan yang ditemui oleh para sarjana hukum terkemuka yang mencoba membangun hukum “nationally law oriented” yang sebenarnya. Secara teoritis, hukum ini menggantikan hukum kolonial yang berkaitan dengan ke-agraria-an. Gautama menegaskan pada waktu itu, “prinsip-prinsip orang Barat telah diadopsi ‘secara diam-diam’ … oleh pihak legislator”. Penyesuaian kepada prinsip-prinsip modern dan penyelenggaraan di antara sebuah model modern Barat dalam reformasi agraria seperti dikatakan bahwa “undang-undang baru berarti bahwa resepsi hukum Barat akan berlanjut di Indonesia …”[25].
Perkembangan lebih jauh ditandai dengan adanya pergeseran kekuasaan pemerintahan dari Soekarno ke pemerintahan orde baru pada tahun 1966 yang dalam pandangan politik berarti menimbulkan perubahan pola hukum. Jika hukum dalam era sebelumnya berbentuk “hukum sebagai alat revolusi”, hukum pada orde baru diasumsikan sebagai “hukum sebagai alat pembangunan”, hukum sebagai roda untuk mempercepat pembangunan. Lebih jauh lagi, kata “pembangunan” dalam orde baru mempunyai konotasi progress ekonomi, hukum nasional dirasakan meningkat dalam artian seperti itu. Pada titik waktu ini, artikulasi hukum difungsikan sebagai alat untuk pembangunan sosial, gagasan tersebut dengan cepat menjadi popular. Gagasan ini pada kenyataannya pertama kali dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, orang yang membatah untuk kebutuhan akan kombinasi antara konsiderasi sosiologis dengan kajian hukum dalam pembangunan negeri dalam sebuah usaha untuk mengurangi atau meredakan masalah ekonomi yang mereka hadapi[26].
Mochtar Kusumaatmadja diasumsikan sebagai sikap netral sebagai penghormatan kepada apakah hukum akan diseragamkan atau dibedakan, kendatipun peran hukum adat dirasakan bertentangan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Ia juga mempertanyakan tentang keuntungan meng-impor hukum Barat yang telah ia rasakan pada waktu tersebut “beberapa efek pada proses modernisasi adalah sebuah keniscayaan”. Ini merupakan konsep hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja yang mempunyai banyak kontribusi dalam pembentukan hukum baru sebagai sarana modernisasi pada orde baru[27]. Konsep selektifnya dalam unifikasi hukum diadopsi menjadi politik pemerintah dalam hukum modern di Indonesia.
Hal penting yang harus dicatat mengenai politik baru ini adalah hukum sekarang secara aktual menjadi alat pemerintah dalam melakukan social control. Pemerintah dengan kekuatan hukum penuh dengan pertimbangan dari kelompok pro-adat yang menolak pemahaman bahwa hukum tidak datang dari atas (kekuatan Negara), melainkan muncul dan lahir dari masyarakat.

NASIONALIS SEKULER VS. MUSLIM
Kontras dengan hukum adat yang telah dilemahkan oleh proses unifikasi hukum, posisi hukum Islam terlihat tidak begitu terpengaruh. Hukum adat didukung oleh kekuatan daerah, sedangkan hukum Islam didukung oleh kekuatan nasional. Hasilnya, pemusatan kekuatan berpengaruh terhadap posisi hukum Islam.
Allan Christelow dalam analisisnya mengenai keterkaitan antara politik dan agama Islam, ia menyatakan bahwa titik tegangan maskimum di antara keduanya terletak pada lembaga qadi[28]. Sejak kemerdekaan, perkembangan sistem peradilan terefleksikan dalam perlawanan antara kelompok nasionalis yang merepresentasikan kekuatan Negara dan kelompok muslim.
Pada awal kemerdekaan, pengadilan melanjutkan tugasnya dalam kapasitas yuridis, sebagai pengadilan kolonial yang telah dibentuk, ketika semua usaha yang dilakukan untuk memperluasnya terbentur[29]. Peradilan yang sudah terorganisir di bawah Menteri Hukum sejak keberadaan Jepang, masuk dalam yuridiksi Menteri Agama pada Tahun 1946. Dua tahun setelah itu, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 19 yang menetapkan bahwa peradilan agama digabungkan di bahwa peradilan umum. Hal yang penting untuk dicatat dalam hal ini adalah politik ini menunjukkan sikap awal pemerintah dalam mewarisi konflik politik antara nasionalis sekuler dengan muslim. Sepanjang tahun 1948, undang-undang tidak pernah diimplementasikan, semangat dan naskah undang-undang berefek pada pengenyampingan muslim. Keadaan ini semakin diperburuk dengan penghapusan Pengadilan Kesultanan di luar Jawa dan Madura pada Tahun 1951, sehingga menimbulkan kebingungan dalam penyelesaian perselisihan keagamaan.
Enam tahun kemudian, keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957, penyelesaian perselisihan keagamaan di luar pulau Jawa dan Madura diselesaikan pemerintah dengan cara pembangunan ulang peradilan agama. Peraturan yang dibangun pemerintah ini berisikan perluasan yuridiksi peradilan agama yang tidak hanya terbatas pada Jawa, Madura atau Kalimantan Selatan. Pada waktu ini pluralisme hukum agama dilanjutkan untuk menegaskan term pengadilan agama dalam struktur, prosedur dan tujuannya. Pengadilan di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan melanjutkan penggunaan hukum yang diwarisi dari Belanda, sementara Pemerintah menyelesaikan peraturan Tahun 1957 untuk pengadilan yang berada di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan.
Perkembangan sistem pengadilan agama selanjutnya tidak begitu rumit. Pemikiran teori receptie yang diwarisi dari Belanda dipengaruhi oleh ahli hukum Indonesia sehingga mendorong rasa antagonis mereka terhadap pengadilan agama. Ahli yang paling mencolok adalah Dr. Raden Soepomo penasehat nasionalis pada Departemen Kehakiman yang terlihat sangat menentang Islam dan mempunyai pengaruh besar dalam persiapan pengenalan UUD 1945[30]. Kenyataannya, sebagian besar pejabat pada Departemen Kehakiman dan Peradilan Umum adalah alumnus sekolah hukum di Belanda yang tidak begitu banyak mengetahui hukum Islam. Mereka hanya mengetahui hukum Islam dari pesantren yang ada pada kehidupan masyarakat tradisional. Mereka dilalaikan, walau bagaimanapun, untuk memperkenalkan diri mereka sendiri prinsip dasar Islam. Konsekuensinya, mereka merasa diasingkan dari Islam dan muslim yang berkeinginan untuk adanya praktek hukum Islam.
Permasalahan ini juga semakin diperburuk dengan keberadaan hakim pengadilan agama yang masih mempunyai pemikiran klasik dan tradisional karena hanya mempelajari fiqih klasik mazhab Syafi’i pada pesantren tradisional. Hal ini tidak dapat dielakkan lagi akan menimbulkan jarak yang lebar di antara hakim dengan hukum yang dipelajari di Belanda, antara sarjana yang sangat “Barat” dengan hakim muslim yang belajar pada sekolah Islam tradisional. Keadaan tersebut hanya akan memperlebar jurang pemisah antara kalangan nasionalis dan kelompok muslim.
Polarisasi ini muncul sejak disahkannya UU Nomor 17 tahun 1970 yang menggantikan UU Nomor 19 Tahun 1964 yang menyatakan dan menyokong eksistensi pengadilan agama pada orde baru. Pasal 10 dalam UU tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman harus dijalankan oleh Mahkamah Agung dalang lingkungan agama, militer dan administrasi Negara.
Pada prakteknya, prinsip persamaan di antara badan peradilan tersebut diterlaksana sepenuhnya. Regulasi kolonial, menetapkan menetapkan bahwa semua putusan pengadilan agama harus diratifikasi pada pengadilan umum sebelum diimplementasikan. Kesanggupan untuk melaksanakan “executoire verklaring” hanya dibutuhkan jika pembanding tidak menerima Keputusan pengadilan tersebut. Penempatan posisi pengadilan agama seperti ini dilanjutkan untuk menggaris-bawahi ketegangan dan kegelisahan antara kelompok nasionalis dengan muslim pada awal orde baru.
Perdebatan di antara politikus dan pakar hukum Indonesia tentang eksistensi pengadilan agama berlangsung hingga Tahun 1980-an. Situasi ini mengindikasikan bias pertentangan terhadap kedudukan Islam dalam Negara. Hazairin, yang paling dikenal dengan kritik secara terang-terangan terhadap teori receptie[31], pada suatu kesempatan menyampaikan ketidak-setujuannya terhadap pengadilan ini[32].
Kendatipun ada banyak halangan, pengadilan agama dapat diterapkan secara parsial dalam menyelesaikan perselisihan dalam perkawinan. Pemerintah Indonesia mengejutkan para peneliti dengan mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 1989[33] tentang peradilan agama dengan meresmikan perubahan terbaru terhadap peradilan agama sebagai sebuah institusi. Kontras dengan sistem peradilan yang dipikirkan oleh Belanda, hukum baru ini memberikan keseragaman nama untuk peradilan agama di Indonesia. Lebih penting lagi, yuridiksi peradilan agama lebih diperluas lagi dalam menyelesaikan perkara dalam hukum keluarga. Sederhananya, peradilan agama pada saat ini mempunyai kedudukan yang sama dengan peradilan umum sehingga “executoire verklaring” tidak berlaku lagi.
Banyak tulisan dipublikasikan tentang perkembangan terbaru Islam di Indonesia. Sebagian besar literatur terkesan menyatakan bahwa ada pendekatan antara Islam dan Negara pada paruh kedua tahun 1980-an. Perkembangan seperti adanya KHI, UU Pendidikan dan kelahiran ICMI memberikan indikasi adanya pendekatan antara Islam dengan Negara. Hubungannya tidak lagi terlihat sebagai musuh, namun sebagai partner penuh dalam usaha pembanguan nasional pada masa orde baru.
Sikap melemahnya rezim terhadap Islam mengejutkan banyak peneliti. Namun, sebenarnya terik ulur masalah ini masih terjadi seperti yang terlihat dalam sidang MPR pada akhir Tahun 1980-an. Kalangan nasionalis dan kelompok non-Muslim menunjukkan perlawanan terhadap draft UU Nomor 7 tahun 1989[34]. Menariknya, mereka mencurigai hal ini sebagai usaha untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dalam pandangan mereka, penetapan UU Nomor 1 Tahun 1989 adalah usaha kelompok muslim untuk membangun Negara Islam.
Kecurigaan yang terlihat tak beralasan tersebut berbeda dengan kenyataan bahwa kalangan idealis muslim yang mengemukakan gagasan Negara yang didasarkan pada ideologi Islam yang secara konsisten telah dikalahkan oleh kalangan muslim akomodasionis pada dekade sebelumnya[35]. Bagian sebagian muslim, gagasan Negara Islam telah disingkirkan. Kenyataannya, digabungkan dalam adopsi oleh semua partai politik dan organisasi massa dengan prinsip pancasila sebagai landasan dasar tunggal mereka, mengantarkan sebagian kalangan muslim terkemuka akan sebuah pertanyaan tentang relevansi perselisihan di Indonesia. Diskusi kalangan pro dan kontra tidak lagi dalam hal ini, namun bergerak menuju usaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam ideology nasional. Sebagaimana yang dilontarkan oleh pemikir Islam terkemuka pada tahun 1965, “… kita tidak lagi berbicara mengenai negara Islam, akan tetapi alangkah baiknya kita berbicara tentang masyarakat Islam”.

EPILOG
Kemunculan pola baru dalam pembentukan politik hukum sudah tidak dapat dielakkan lagi mengundang debat panas yang terkadang disertai dengan amarah dan rasa dendam di antara kelompok tertentu di Indonesia. Kritik politik ini menerima bahwa peradilan secepatnya bergabung dengan kekuatan lokal di luar kekuatan politik formal pemerintah pusat. Dalam cara ini, iklim yang menonjolkan pembuangan hukum adat sebagai hasil akhir dapat dipahami. Di sisi lain, peradilan agama tidak terlihat begitu terpengaruh dengan usaha unifikasi hukum di negeri ini. Meskipun pergolakan dunia perpolitikan pada awal kemerdekaan ditujukan untuk melemahkan aturan peradilan pada sistem peradilan di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa kekuatan institusi politik nasional akan berpengaruh dan lebih bertenaga jika disokong oleh nilai-nilai keagamaan. Hasilnya, pemusatan kekuatan mempengaruhi status peradilan agama. Kegembiraan peradilan agama di Indonesia merubah iklim politik, terkhusus sejak paruh kedua tahun 1980-an, hal ini juga merupakan hasil penyesuaian antara Negara dan Islam pada masa kejayaan perselisihan antara kalangan nasionalis yang mewakili kekuatan Negara dan kelompok muslim.
Oleh karena itu, walaupun konstilasi perubahan politik nasional sudah tidak bisa dielakkan pengaruhnya dalam posisi dua sistem peradilan, dengan pembuangan salah satu peradilan adat merupakan salah satu hasil perubahan tersebut, aturan politik yang dimainkan oleh sistem peradilan agama yang terlihat tidak bisa dihalangi. Ketika peradilan adat “mau tak mau” harus tersisih[36], peradilan agama terpelihara dan kedudukannya mempunyai segenap kekuatan dalam hubungannya dengan peningkatan dominasi kekuatan pusat dan penyesuaiannya terhadap Islam.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Rujukan Utama
Lukito, Ratno, “Law and Politics in Post-Independence Indonesia: a Case Study of Religious and Adat Courts” Shari’a and Politics in Modern Indonesia, ed. Askal Salim and Azyumardi Azra (Singapore: ISEAS Publishing, 2003)


Rujukan Tambahan
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Penrbit Pustaka, 1983).

Aulawi, A. Wasit, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Lukito, Ratno, “Hukum dan Politik Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Studi Kasus Agama dan Hukum Adat”, Studia Islamika: Jurnal Kajian Islam Indonesia 6, Nomor 3 (1999).

-----------------, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: INIS, 1998).

-----------------, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008).

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), ed-2.

M.D., Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 2010), Edisi Revisi.

Noeh, Zaini Ahmad, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Pelzer, Karl J., Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1991).

Sutiknyo, Imam, Politik Agraria Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).


[1] Telah diterbitkan sebelumnya sebagai “Hukum dan Politik Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Studi Kasus Agama dan Hukum Adat”, Studia Islamika: Jurnal Kajian Islam Indonesia 6, Nomor 3 (1999): 65-86. Dicetak ulang berdasarkan izin dari pemilik hak paten dan percetakan, Inststitut Agama Islam Negeri. Lihat dalam Ratno Lukito, “Law and Politics in Post-Independence Indonesia: a Case Study of Religious and Adat Courts” Shari’a and Politics in Modern Indonesia, ed. Askal Salim and Azyumardi Azra (Singapore: ISEAS Publishing, 2003), 17. Tulisan ini pada dasarnya adalah bagian dari Tesis Ratno Lukito untuk menyelesaikan jenjang Magister di Institute of Islamic Studies Mc. Gill University. Proses penulisan tesis ini dibimbing oleh Prof. Wael B. Hallaq. Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca lebih lanjut: Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: INIS, 1998).

[2] Pergantian kedaulatan berarti lepas dari rezim lama maupun perangkat-perangkat sosialnya. Namun, sejarah membuktikan bahwa pergantian kekuasaan tidak mesti berarti terjadinya peralihan revolusioner dalam institusi-institusi Negara. Hal ini benar sekali dalam kasus Indonesia, khususnya pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan lebih menandakan pergantian kekuasaan sistem politik daripada sistem budaya. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 227.

[3] R. Subekti, Law in Indonesia (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1982), 6.

[4] Daniel S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 13.

[5] R. Subekti, Law in Indonesia (Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1982), 7.

[6] Hukum pada masa setelah kemerdekaan bagaimanapun membuktikan bahwa lamanya proses penerapan hukum kolonial telah berhasil menananmkan model hukum dan institusi hukum Eropa di tanah air. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 228.

[7] Dalam naskah asli tesisnya, Ratno Lukito menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari kurang lebih 7.900 pulau. Lihat dalam Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), 58.

[8] Gouwgioksiong, “The Marriage Laws in Indonesia with Special Reference to Mixed Marriage” Rabels Zeithschrift 28 (1964), 711-31.

[9] Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru (Bandung: Binacipta, 1987), 52-53.

[10] Pluralisme merupakan term yang sering dipergunakan untuk menggambarkan Indonesia. Sebagai Negara, Indonesia tidak hanya plural dalam budaya dan tradisi, namun juga hal agama, kepercayaan dan golongan agama yang tersebar luas di seluruh nusantara. Karena itu tidak heran jika Negara menerapkan ideologi pluralisme hukum dan bukannya ideologi uniformisme. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 230.

[11] Daniel S. Lev, “Judical Institutions and Legal Culture” in Culture and Politics in Indonesia, ed. Claire Holt (New York: Cornell University Press, 1972), 257.

[12] Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 176.

[13] S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 13.

[14] Sistem kolonial sudah mulai mengadakan pembagian wilayah. Hal ini terlihat dari adanya wilayah pemerintahan swapraja (zelfsbestuurd gebied) di luar pulau Jawa, daerah yang langsung berada di bawah administrasi gubernemen (rechtsreeksbestuur gebied) di Jawa dan Madura (selain Yogyakarta dan Surakarta yang menjadi pola induk). Susunan pemerintahan kabupaten (regentschaap) diatur menurut kepangkatan yang sesuai dengan adat istiadat pribumi (onder zoodanigen ambtstitel als de Indlandsche gebruiken medebrengen pasal 126 ayat 1 IS). Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa Sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema INsani Press, 1996), 70.

[15] Daniel S. Lev, “Judical Unification in Post Collonial Indonesia” Indonesia 16 (October 1973), 20.

[16] Peliknya permasalahan perkebunan di Jawa Tengah dijawab oleh Presisden dengan membentuk Panitia Tanah Konversi pada tanggal 6 Maret 1948. Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1991), 41. Komisi ini bertugas memperbaiki peraturan mengenai Sewa Tanah Atas Tanah Milik Pangeran. Imam Sutiknyo, Politik Agraria Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 4.

[17] Secara historisnya, Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama) yang didasarkan pada teori Van den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., ed. Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema INsani Press, 1996), 55.

[18] Dalam pandangan Lev, ketidak-jelasan bahasa yang menunjukkan institusi hukum adat sebagai sebuah “hukum kebiasaan masyarakat” bukan sebagai “hukum adat” berimplikasi terhadap “sebuah tingkat kekhawatiran yang mengawali beban penegak hukum dan perluasan konflik-konflik politik”.

[19] M.M. Djojodigoeno, Hukum Adat di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1952), 42.

[20] Sultan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social dan Cultural Revolution (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966), 67.

[21] John Ball, Indonesian Law Commentary and Teaching Maerials (Sydney: University of Sydney, 1985), 1986.

[22] R. Soerojo Wignjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan (Jakarta: Gunung Agung, 1982), 24-30. Lihat juga Soerjono Soekanto, Kedudukan Peranan Hukum Adat di Indonesia (Jakarta: Kurnia Elsa, 1987), 73-74.

[23] B. Simorangkir, “Adat Versus Emansipasi”, Sinar Harapan (10 Agustus 1968).

[24] Daniel S. Lev, “The Lady and The Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia” American Journal of Comparative Law 14 (1965), 282.

[25] Soedarto Gautama, “Law Reform in Indonesia” Rabels Zeitshrift 26 (1961), 535.

[26] Mochtar Kusumaatmadja, “The Role of Law in Development: The Need for Reform of Legal Education in Developing Countries” Role of Law in Asian Society, makalah pada Special Congress Session in 28th International Congress of Orientaslist (1973) sebagaimana yang dikutip dari Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 231.

[27] Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru (Bandung: Binacipta, 1987), 65-68. Lihat juga Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), 1-2.

[28] Allan Christelow, Muslim Law Courts and French Collonial State in Algeria (New Jersey: Princeton University Press, 1985), 262.

[29] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), 62.

[30] Deliar Noer, The Administration of Islam in Indonesia (New York: Cornell University, 1978), 45.

[31] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas, 1982), 7-10.

[32] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), 88.

[33] Sekalipun undang-undang ini lahirnya agak terlambat disbanding peraturan untuk lingkungan peradilan lainnya, namun hal ini tidak akan mengurangi makda kehadirannya di tengah-tengah upaya pembangunan hukum nasional. Bahkan keterlambatan ini boleh jaid mengandung kematangan dan kejernihan dibandingkan jika kelahirannya dipaksakan dan terburu-buru. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), ed-2, 1.

[34] Zuffran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog tentang RUUPA (Jakarta: Pustaka Antara, 1990), 124.

[35] Pada masa sebelumnya, Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui sebuah naskah “Mukaddimah” UUD 1945 yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Chartered. Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 2010), edisi revisi, 37. Pemberian nama itu diberikan oleh Muhammad Yamin. Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia Sembilan dinyatakan diterima dalam Sidang II BPU PKI tanggal 11 Juli 1945. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), 30.

[36] Hukum Adat adalah korban utama proyek unifikasi yang dilakukan oleh rezim baru. Karena pembangunan kesatuan hukum nasional dipandang sebagai bagian terpenting dalam usaha modernisasi Negara, maka hukum dan tradisi komunitas adat pribumi dinilai sebagai keterbelakangan dan tanda keprimitifan. Jadi, walaupun merupakan ekspresi budaya asli Indonesia, adat dianggap sebagai “sesuatu yang kuno” dan tidak sesuai lagi dengan keinginan masyarakat modern yang diimpikan. Hal ini cukup mengejutkan karena rezim penjajahan Belanda dan Jepang --khususnya pada tahun-tahun terakhir penjajahan mereka—cenderung mendukung ambisi masyarakat pribumi untuk melestarikan adat asli mereka sebagai sumber utama pembentukan hukum. Ratno Lukito, Sukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), 232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar