Selamat Datang di Blog Aphied Mr'Zero Semoga Bermanfaat :) Aphied Mr'Zero: J U R N A L

Rabu, 23 Desember 2015

J U R N A L



PENENTUAN AWAL RAMADHAN
OLEH ALIRAN TAREKAT NAQSABANDIYAH

Oleh: Abdul Hafizh[1]

ABSTRACT
Background of this paper is Tarekat Naqsyabndiyah that conducting worship of fasting Ramadhan earlier than the Goverment. The first fasting worship on will also affect the day of EID Al-Fitr and EID Al-Adha. Based on analysis and data which the writer do, the writer conclude the follower of Tarekat Naqsyabandiyah used the system of hisab and rukyat to determine their own first Ramadhan is by collect the letters of years and months required, then the numbers summed after the obtained result, and then began counting from Thurshday until the total of the letters, and we will get the day the required by using raw table which used by Tarekat Naqsyabandiyah. After get the day that their calculate before (hisab), then to the rukyat by using their method without advanced tools. Meanwhile, the method which Indonesian goverment used is Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal, Imkanur Rukyat MABIMS, and global Rukyat by using advanced technology.

Keywords: First Ramadhan, Tarekat Naqsabandiyah

A.    Pendahuluan
Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan manusia, yang kewajiban itu dilaksanakan apabila diantara manusia itu melihat hilal. Umat Islam Indonesia melaksanakan awal puasa berdasarkan kepada hisab yang dilakukan oleh ahli hisab dengan ilmu falak (ilmu astronomi), serta disesuaikan dengan rukyat yang dilakukan oleh ahli rukyat.
Adapun penentuan awal Ramadhan berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia merupakan keputusan yang menggabungkan pendapat dari ahli hisab dan ahli rukyat tentang penetapan awal Ramadhan atas nama Ulil ‘Amri, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dari ayat di atas jelaslah perintah kepada orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya dan kepada Ulil ‘Amri. Yang penulis maksud dengan Ulil ‘Amri disini adalah pemerintah yang mengambil keputusan dan mengamalkan ajaran Islam serta tidak melakukan maksiat, sebab makhluk yang mendurhakai khaliknya tidak wajib  dipatuhi, maka dengan demikian keputusan pemerintah tentang penetapan awal Ramadhan wajib dita’ati, dan bagi yang tidak menta’ati keputusan pemerintah tersebut perlu dipertanyakan.
Tentang penetapan awal Ramadhan yang diatur menurut syari’at Islam diungkapkan dalam hadits Nabi SAW yang berbunyi:
عَنْ اِبْنُ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَ إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطَرَ فَاِنْ غَمَ عَلَيْكُمُ فَاقَدْرَزَلَهُ }متفق علب { [2]
“Dari Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Jika kamu melihat bulan, maka berpuasalah. Jika kamu melihat bulan maka berbukalah, dan jika terjadi mendung bagimu, perkirakanlah”. (HR. Mutafaqun ‘alaih).
Dari hadits di atas dijelaskan bahwa puasa itu dilaksanakan apabila melihat hilal, karena melihat bulan yang utuh, pada saat awal bulan tidak mungkin apabila pengamatan itu dilakukan pada waktu matahari terbenam yang keadaan langit diwaktu itu mulai berubah, yakni terangnya langit diwaktu matahari terbenam berkurang, namun cahaya senja masih terlihat sampai dengan waktu isya tiba, sehingga menyulitkan untuk dapat melihat hilal yang masih terlalu tipis, yang terangnya tidak jauh berbeda dengan terangnya langit senja yang cerah tanpa awan[3].
Dapat dipahami bahwa puasa Ramadhan itu dilaksanakan apabila telah melihat hilal pada permulaan awal bulan Ramadhan dan pada permulaan awal Syawal dapat dijadikan pedoman atau petunjuk untuk berpuasa dan mengakhiri ibadah puasa yaitu hari raya Idul Fitri dengan makan dan minum[4].
Ada beberapa aliran atau kelompok yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan lebih dahulu atau lebih akhir dari yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Seperti kelompok Ta’aqid yang berada di Kelurahan Ampang Kecamatan Kuranji Padang. Mereka melaksanakan puasa lebih akhir dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Begitu juga yang dilaksanakan oleh Aliran Tarekat Syattariyah, mereka juga melaksanakan puasa Ramadhan lebih akhir dari yang dilaksanakan pemerintah Republik Indonesia.
Lain halnya dengan Aliran Tarekat Naqsabandiyah, mereka lebih dahulu melaksanakan puasa Ramadhan dari ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Aliran ini berada di daerah Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Padang, tepatnya di Mushalla Baitul Makmur. Hasil wawancara sementara antara penulis dengan tokoh aliran tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa mereka melaksanakan ibadah puasa lebih awal dua hari dari yang dilaksanakan umat Islam Indonesia pada umumnya. Pelaksanaan puasa yang lebih awal dari ketentuan yang ditetapkan dari Menteri Agama berpengaruh juga kepada pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Setelah dua hari Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabandiyah melaksanakan ibadah puasa, barulah pemerintah melalui keputusan Menteri Agama Republik Indonesia mengumumkan tentang jatuhnya awal Ramadhan melalui media massa, radio, dan televisi. Ini diamalkan oleh umat Islam Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis melihat perbedaan yang mendasar antara penentuan awal Ramadhan yang dipatuhi oleh Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabandiyah dengan penentuan awal Ramadhan umat Islam Indonesia umumnya.
Dari penulisan ini, ada beberapa tujuan dan kegunaan yang ingin penulis capai.
1.      Tujuan
a.       Untuk menjelaskan metode yang dipergunakan oleh aliran Tarekat Naqsabandiyah dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan.
b.      Untuk menjelaskan pelaksanaan hisab dan rukyah penentuan awal bulan Ramadhan oleh Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabadiyah dan bagaimana perbedaannya dengan metode yang dipakai oleh pemerintah.
2.      Kegunaan
a.       Secara akademik dapat memberi kontribusi dalam bidang Hukum Islam khususnya tentang sistem penentuan awal Ramadhan bagi Aliran Tarekat Naqsabandiyah tersebut.
b.      Untuk memperdalam dan memperluas wawasan penulis, khususnya dalam bidang Ilmu Falak.
Karya ilmiah yang penulis tulis dalam bentuk Jurnal ini berjudul Penentuan Awal Ramadhan Oleh Aliran Tarekat Naqsabandiyah”. Untuk menghindari kesalahpahaman serta tidak terjadi penciplakan terhadap karya ilmiah yang telah ada. Karya ilmiah yang ditulis oleh Aprisal, SHI yang berjudul “Penentuan Awal Bulan Ramadhan Menurut Rukyat Tarekat Syattariyah”. Hasil kajian bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi landasan atau dasar hukum bagi tarekat Syattariyah.
Para ulama Tarekat Syattariyah pada umumnya berpegang teguh dengan prinsip yang mereka pegangi. Prinsip dalam hal ini maksudnya adalah bahwa kelompok tarekat ini belum akan berpuasa sebelum melihat bulan atau setelah menggenapkan bulan Sya’ban selama 30 hari. Karena kelompok ini telah meyakini sepenuhnya dengan tatacara yang mereka lakukan dalam menetapkan awal bulan Ramadhan yang didasarkan pada ketentuan hisab dan takwim (jalan mencari timbulnya bulan).
Pada intinya dalam karya ilmiah ini, aliran tarekat Syattariyah lebih lambat melaksanakan puasa dari pemerintah apalagi dari aliran tarekat Naqsyabandiyah. Jelas perbedaan yang terlihat antara kedua karya ilmiah ini, sehingga menghindari penulis dari kesalahpahaman dan tuduhan atas penciplakan terhadap penulis.
B.     Metodologi Penelitian
Dalam pembuatan Jurnal ini, penulis akan mempergunakan beberapa metodologi. Untuk menjawab permasalahan yang penulis rumuskan, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif.
1.      Pengumpulan Data
Sebagaimana lazimnya setiap pembahasan karya ilmiah yang memerlukan data yang akurat dan tepat sehingga keberadaannya dapat diterima secara ilmiah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi:
a.       Library Research, yaitu dengan membaca buku-buku yang mengkaji tentang masalah yang penulis bahas. Menurut Mestika Zed, studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan bahan pustaka, membaca dan mencatat serta mengelola penelitian. (Mestika Zed: 2004)
b.      Field Research, yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabandiyah yang berada di Kota Padang dan tokohnya (khusus masalah penentuan awal Ramadhan Jema’ah Baitul Makmur). Dalam hal ini penulis langsung wawancara dengan tokoh Aliran tersebut, yaitu bapak Syafri. Penulis langsung menemui bapak tersebut ke tempat kediamannya di Mushalla Baitul Makmur. Penulis memulai wawancara tersebut dengan menanyai bagaimana aliran ini lahir dan kapan berdirinya, setelah itu barulah penulis masuk dengan masalah hisab dan rukyat yang dilaksanakan oleh aliran ini.
2.      Pembahasan
Setelah bahan dan data terkumpul atau diperoleh, maka dibahas, disusun dan di analisa melalui metode sebagai berikut:
a.       Induktif:           Berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum. (Sutrisno Hadi: 1973)
b.       Deduktif:         Suatu pengetahuan yang sifatnya umum dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai sesuatu kejadian yang khusus.(Sutrisno Hadi: 1973)
c.       Komperatif:      Mencari pemecahan masalah melalui analisis terhadap faktor-faktor tertentu berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain.(Winamo Surakhmad: 1990) Kemudian, seandainya sejalan dikompromikan dan apabila berbeda dikuatkan salah satunya.


3.      Sumber Data
Sebagai sumber primer, penulis menggunakan kitab-kitab Fiqih yang membahas tentang puasa, seperti; Fiqh as-Sunnah, Subul as-Salam, Bidayat al-Mujtahid, dan berbagai kitab Fiqih lainnya yang membahas tentang hisab dan rukyat. Sedangkan sumber sekunder yang penulis gunakan adalah literatur-literatur yang memiliki kaitan dengan pembahasan yang penulis tulis, seperti; artikel lepas, majalah dan bahan-bahan lain yang mendukung pembahasan ini.
4.      Teknik Analisis Data
Bahan yang telah dihimpun di atas akan dianalisa dengan menggunakan metode content analysis (analisis konten) terhadap pemikiran dan pendapat yang berkaitan dengan masalah di atas.
C.    Hasil dan Diskusi
Penentuan awal bulan Ramadhan adalah suatu hal terpenting dalam penetapan jatuhnya awal bulan baru di Hijriyah, baik dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal juga dalam hal ibadah lainnya seperti penentuan waktu shalat dan perhitungan hasil zakat.
Para ulama fikih dalam penetapan awal Ramadhan terdapat perbedaan pendapat, baik yang menggunakan metode hisab ataupun rukyat, bahkan sesama hisab atau rukyat itupun mempunyai peluang terjadinya perbedaan pendapat.
Imam Hanafi, Maliki dan Hambali menetapkan penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu hanyalah dengan rukyat hilal, sedangkan dengan ilmu hisab tidak dibenarkan, sekalipun benar tidak dapat diterima dengan alasan tidak adanya syari’at yang dapat dijadikan sandarannya. Dimana di dalam hal rukyat ada hadits Nabi yang mengungkapkan untuk dilaksanakannya rukyat sebagaimana dalam hadits Nabi dari Ikrimah yang menerima pengkhaibaran seorang Arab Baduwi yang bertujuan untuk kehati-hatian.
Sedangkan menurut Imam As-Subuki, bahwa kalau seandainya seorang atau dua orang saksi menyatakan melihat hilal, sedangkan hasil hisab menyatakan bahwa hilal tidak mungkin dilihat, maka persaksian tersebut tidak dapat diterima sebab hisab mempunyai qath’i. Sedangkan nilai persaksian hanya merupakan persangkaan kuat, sedangkan persangkaan kuat tidak dapat mengalahkan sesuatu yang telah mempunyai nilai pasti[5].
Lebih tegas lagi dalam kitab Syarwani ‘alat tuhfah seorang ahli fikih mengemukakan bahwa dalam perhitungan hisab, hilal itu telah wujud namun dikarenakan cuaca mendung, berawan dan tertutup partikel-partikel lainnya, sehingga hilal itu tidak dapat di rukyat. Oleh sebab itu dilaksanakan dengan imkanur rukyat yaitu dengan mencukupkan hasil perhitungan hisab tersebut[6].
Dari perkembangan pendapat ulama di atas, penulis berpendapat bahwa para ulama (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali) menolak ilmu hisab dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal dikarenakan ttidak adanya sandarannya. Namun penulis pahami bahwa para Imam tersebut yang menolak di atas, secara tidak langsung sudah mengakui kebenaran hasil perhitungan hisab ini. Penulis memahaminya dari ungkapan Imam Malik “Beramal berdasarkan hitungan-hitungan secara falakiyah sekalipun benar, yang demikian itu tidak dibenarkan” dan ungkapan Imam Hanbali “Tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan hisab dan nujum sekalipun banyak betulnya, dikarenakan tidak ada sandaran yang dipegangi secara syari’at”. Menurut hemat penulis ilmu hisab ini mempunyai dasar dan sandaran hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ (17) ayat 12, yang berbunyi:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ءَايَتَيْنِ فَمَحَوْنَا ءَايَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا ءَايَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan waktu. Dan segala sesuatu yang telah kami terangkan dengan jelas”.
Bahwa dari ayat di atas tersebut dapat dipahami, untuk mengetahui peredaran matahari dan bulan adalah dengan ilmu hisab (ilmu falak) yang dipahami dari maksud ayat (لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ) “supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu” yang demikian itu adalah denga hisab, sebagaimana disebutkan juga dalam tafsir al-Maraghi bahwa makna ayat (لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ) adalah supaya manusia mengetahui sifat matahari, bulan dan tempat peredarannya dengan ilmu hisab[7].
Jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan berdasarkan kepada pemahaman nash yang ada, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Rasulullah SAW, yang merupakan sumber ajaran Islam yang disepakati. Hal ini terlihat dengan penentuan awal Ramadhan yang berdalilkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Fajr ayat 1-5 yang berbunyi:
وَالْفَجْرِ(1)وَلَيَالٍ عَشْرٍ(2)وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ(3)وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ(4)هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ(5)
“(1).  Demi fajar, (2).  Dan malam yang sepuluh, (3). Demi yang genap dan yang ganjil, (4). Demi malam, bila telah berlalu, (5). Adakah pula demikian itu, sumpah bagi orang yang berakal ”[8].
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT bersumpah, demi fajar dan demi malam yang sepuluh (tiap-tiap bulan) dengan demikian penghisaban awal Ramadhan itu dapat dimulai tanggal 8 sampai 10 Sya’ban yang pada tanggal itu bulan kelihatan separoh, sedangkan pada tanggal 10 nya, bulan itu akan kelihatan sumbing yakni ¾ yang berfungsi menandakan bulan itu telah lewat dari separoh. Kemudian pada tanggal 15 Sya’ban bulan itu akan kelihatan penuh (bulat sempurna) yang penglihatannya dimulai dari jam 19.00 WIB (diwaktu maghrib) sampai subuh, bila tetap kelihatan yang demikian itu dinamakan kesiangan. Maka umur bulan itu berarti sudah sampai 15 hari (tanggal 15 Sya’ban)[9].
Demi malam yang telah berlalu yakni hari yang telah lalu, kalau bulan itu sudah separoh atau sudah delapan hari berarti menandakan bahwa hari yang sebelumnya sudah tujuh hari. Sedangkan dari makna ayat yang demikian itu sumpah bagi orang yang berakal, bahwa manusia harus menggunakan akal pemikirannya karena tujuan akal itu diberikan adalah untuk berfikir. Maka dituntut kebenaran akal dalam berfikir dengan sumpah Allah tersebut di atas, yaitu mengfungsikan akal dengan memperhitungkan akal yakni dengan hisab dan rukyah[10].
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa melihat bulan itu pada dasarnya dilaksanakan setiap bulan, bukan di bulan Sya’ban saja. Namun di bulan Sya’ban perukyatan bulan itu mulai dari tanggal 8 Sya’ban yang sebelumnya telah ditentukan suatu hari hasil penghisaban dengan menggunakan cara tersendiri sebagaimana tercantum di bawah ini:
" انله بلعن حسب اهل تفويم، مك هبمفنكن حورفى بولان يع دكحندكي ايت دعن ببرافى بيلاعن اعك حروفى تاهون ايت دان حروفى بولان ايت، مك دمولاي بيلاعن فد حارى خمس هيعك سمفاي بيلاعن جمله حروفى بولان دان باراع افى يع تافت نام هارى دغن فعحابسان بيلاعن اعك ايت بكيت له سترسث سمفاي حارى قيامه "[11]
“Inilah bilangan hisab ahli taqwim, maka himpunkan huruf bulan yang dikehendaki itu dengan beberapa bilangan angka huruf tahun itu dan huruf bulan itu, maka dimulailah bilangan pada hari Kamis hingga sampai bilangan jumlah huruf bulan dan barang apa yang tepat nama hari dengan penghisaban bilangan angka itu, begitulah seterusnya sampai hari kiamat”.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa cara penghisabannya dilakukan dengan menghimpunkan huruf tahun dengan huruf bulan yang dikehendaki yang kemudian angkanya ditambahkan setelah didapati hasilnya, maka dimulailah menghitung dari hari Kamis hingga sampai jumlah huruf tersebut, dan didapatilah hari yang dikehendaki tersebut dengan mempergunakan tabel baku yang dipergunakan oleh aliran ini sebagaimana yang terdapat pada tabel 1 di bawah ini.





Tabel 1










Sehingga dengan demikian dapatlah diketahui penghisaban hari tersebut seperti penetapan awal Ramadhan 2009 dimana bulan Muharram 3 ditambahkan dengan Ramadhan 5, maka jumlahnya 8. Lalu dilihatlah dari hari Kamis, Juma’at, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Hari Kamislah jatuhnya awal Ramadhan 2009. Kemudian barulah setelah itu di rukyah hari Kamis tersebut pada tanggal 8 Sya’ban, bila tepat separoh pada hari yang ditentukan dari jam 19.00 sampai subuh, maka puasa Ramadhan tepat dilaksanakan pada hari yang telah dihisab tersebut. Kemudian apabila bulan tersebut lewat dari separoh, berarti puasa dilaksanakan satu hari sebelum hari yang telah dihisab di atas.
Kemudian mengenai hitungan jumlah hari dalam setiap bulan Qamariah itu terdiri dari 29 dan 30 hari. Muharram 30 hari, Syafar 29 hari, Rabi’ul Awwal 30 hari, Rabi’ul Akhir 29 hari, Jumadil Awwal 30 hari, Jumadil Akhir 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari, Ramadhan 30 hari, Syawal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari, Dzulhijjah 29 hari. Sebagaimana hadits Nabi yang dikemukakan oleh Bapak Syafri yang berbunyi:
عَنْ إِبْنُ عُمَرَ عَنْ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّهُ قَالَ: إِنَّا اُمَّةُ اُمِيْةُ لاَ نَكْتُبَ وَلاَ نَحْسَبَ الشَّهْرَ هَكَذَا وَ هَكَذَا يَعْنِى مَرَّةَ تِسْعَةُ وَ عِشْرِيْنَ وَ مَرَّةَ ثَلاَ ثِيْنَ {رواه مسلم}
“Dari Ibn Umar dari Nabi SAW bersabda: Kami umat yang buta huruf, tidak dapat menulis ataupun menghitung, bulan itu begini dan begini, yaitu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari”. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa umur bulan itu ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari, artinya umur yang 29 hari itu adalah umur yang minimal, sedangkan yang 30 hari itu adalah umur yang maksimal.
Begitu juga hadits yang diterima beliau dari gurunya Syekh H. Abdul Munir secara lisan saja, sehingga yang diketahui secara pasti oleh Bapak Syafri hanyalah maksud dari hadits tersebut.
صو موا رمضان با ئكمل ثلا ثين
“Wajib mempuasakan Ramadhan dengan menyempurnakan Sya’ban 30 hari”.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa pada tanggal 30 Sya’ban sudah jatuh wajib dilaksanakannya puasa Ramadhan yang di pahami dari kata “بأكمل” tersebut, karena umur bulan Sya’ban itu hanya 29 hari dan hari yang ke-30 nya adalah 1 Ramadhan[12].
Menurut Bapak Syafri, kalau benar-benar perukyatan tersebut dilakukan dengan alat teknologi seperti teropong bintang, pastilah awal puasa itu akan sama dengan jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah. Karena bulan itu beredar pada peredarannya dan ia akan kembali muncul setelah menghilangnya tersebut, terbukti dengan bulan itu akan pasti kelihatan uga pada esoknya. Sedangkan bila dilihat dahulu bulan (hilal) itu berada di atas ufuk atau berada dalam ketinggian sekian derajat, berarti bulan Ramadhan itu sudah masuk. Maka sama halnya dengan mempuasakan hari yang telah lewat. Begitu juga dengan jatuhnya 1 Syawal yang diharamkan berpuasa pada hari itu, sedangkan disaat bulan sabit itu terlihat sedang dilaksanakan puasa. Berarti puasa pada hari yang diharamkan berpuasa.
Untuk menentukan dan mengetahui bahwa bulan baru itu telah muncul tidak terlalu dijadikan patokan, namun cara menentukan dan mengetahui telah datangnya bulan baru dapat diperhatikan dari mata Kucing. Dimana bila bulan baru telah muncul, maka gelanggang mata Kucing itu membesar dan begitu seterusnya mengiringi besarnya bulan. Apabila bulan tersebut sudah besar, barulah mata Kucing itu membesar walaupun bulan itu tertutup awan.
Kemudian juga dapat diperhatikan dari naik pasangnya air laut yang dengan mengeluarkan atau membawa rumput-rumput laut yang dapat dijadikan bahan agar-agar, menandakan bulan baru itu telah muncul. Sedangkan apabila naik pasangnya air laut tersebut tanpa mengeluarkan atau membawa rumput-rumput laut, yang demikian itu bukanlah merupakan tanda awalnya suatu bulan baru.
Jadi jelaslah bahwa penentuan awal Ramadhan jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla Baitul Makmur Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Padang tidak memakai ilmu hisab dan rukyat yang dipakai oleh umat Islam umumnya, melainkan memakai ilmu hisab dan rukyat tersendiri menurut ajaran dan kepercayaan dari guru mereka.
Adapun cara penghisaban jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah ini dengan mempergunakan tabel yang terambil dari buku berbahasa Arab Melayu yang tidak diketahui judulnya, dilakukan dengan cara menghimpunkan angka bilangan bulan ditambahkan dengan angka bilangan tahun yang dikehendaki. Setelah didapati jumlahnya, dihitunglah mulai hari Kamis. Setelah itu dilaksanakanlah rukyat pada tanggal 8 Sya’ban. Apabila pada tanggal tersebut bulan itu separoh, hari yang dihisab itulah awalnya ibadah puasa. Apabila pada tanggal tersebut bulan lewat atau lebih dari separoh, maka awal puasa lewat pula satu hari dari hari yang dihisab tersebut. Begitu juga apabila bulan kurang dari separoh, maka awal puasa itu jatuh satu hari sebelum hari yang telah dihisab tersebut[13].
Dalam menentukan awal Ramadhan yang dilakukan oleh Tarekat Naqsyabandiyah dengan metode rukyat, mereka tidak mempergunakan alat-alat canggih/modern seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Mereka melakukan rukyat dengan mata telanjang dan akal, seperti melihat dari mata kucing: apabila bulan baru itu telah muncul maka gelanggang mata kucing itu akan membesar dan begitu seterusnya mengiringi besarnya bulan tersebut. Dan dari naik pasangnya air laut yang membawa rumput-rumput laut yang dapat dijadikan agar-agar sebagai pertanda awal bulan baru.
Demikianlah keyakinan dari jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla Baitul Makmur dalam penetapan jatuhnya awal Ramadhan yang lebih awal satu atau dua hari dari umat Islam umumnya.
D.    Kesimpulan
Cara penghisabannya mempergunakan tabel yang terambil dari buku berbahasa Arab Melayu yang tidak diketahui judulnya, dilakukan dengan cara menghimpunkan angka bilangan bulan ditambahkan dengan angka bilangan tahun yang dikehendaki. Setelah didapati jumlahnya, dihitunglah mulai hari Kamis. Setelah itu dilaksanakanlah rukyat pada tanggal 8 Sya’ban. Apabila pada tanggal tersebut bulan itu separoh, hari yang dihisab itulah awalnya ibadah puasa. Apabila pada tanggal tersebut bulan lewat atau lebih dari separoh, maka awal puasa lewat pula satu hari dari hari yang dihisab tersebut. Begitu juga apabila bulan kurang dari separoh, maka awal puasa itu jatuh satu hari sebelum hari yang telah dihisab tersebut.
Sehingga dengan demikian dapatlah diketahui penghisaban hari tersebut seperti penetapan awal Ramadhan 2009 dimana bulan Muharram 3 ditambahkan dengan Ramadhan 5, maka jumlahnya 8. Lalu dilihatlah dari hari Kamis, Juma’at, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Hari Kamislah jatuhnya awal Ramadhan 2009. Kemudian barulah setelah itu di rukyah hari Kamis tersebut pada tanggal 8 Sya’ban, bila tepat separoh pada hari yang ditentukan dari jam 19.00 sampai subuh, maka puasa Ramadhan tepat dilaksanakan pada hari yang telah dihisab tersebut. Kemudian apabila bulan tersebut lewat dari separoh, berarti puasa dilaksanakan satu hari sebelum hari yang telah dihisab di atas.
Kemudian mengenai hitungan jumlah hari dalam setiap bulan Qamariah itu terdiri dari 29 dan 30 hari. Muharram 30 hari, Syafar 29 hari, Rabi’ul Awwal 30 hari, Rabi’ul Akhir 29 hari, Jumadil Awwal 30 hari, Jumadil Akhir 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari, Ramadhan 30 hari, Syawal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari, Dzulhijjah 29 hari.
Demikianlah keyakinan dari jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla Baitul Makmur dalam penetapan jatuhnya awal Ramadhan yang lebih awal satu atau dua hari dari umat Islam umumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Buku;
Hadi, Sutrisno. 1973. Metodologi Research, (UGM Fakultas Psychology: Yogyakarta)

Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz. II

Mustafa al-Maraghi, Ahmad. t.th. Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Mustafa Babil Halabi). Juz ke-10

Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Almanak Hisab dan Rukyat

Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. (Tarsito: Bandung)

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. (Yayaasn Obor Indonesia: Jakarta)



Wawancara;
Bapak Syafri (69 Tahun), Tokoh dan Imam Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Jema’ah Baitul Makmur, Kelurahan Binuang Kampuang Dalam



[1] Dosen Pengampu pada Mata Kuliah Ilmu Falak pada STAI Balaiselasa YPPTI Pesisir Selatan.
[2]Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz. II, h. 151
[3] Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Almanak Hisab dan Rukyat, h. 54
[4] Husein Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), h. 74
[5] Ibrahim Hosen, dkk. Op. Cit. h. 10
[6] Ibid.
[7] Ahmad Mustafa al-Maraghi. t.th. Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Mustafa Babil Halabi). Juz ke-10. h. 67
[8] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[9] Bapak Syafri (69 Tahun), Tokoh dan Imam Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Jema’ah Baitul Makmur, Kelurahan Binuang Kampuang Dalam, Wawancara, 24 Desember 2009
[10] Ibid.                                                                                                                                                   
[11] Ibid. Inilah al-manak untuk mencari awal bulan Tahun Qamariyah (Menurut Tarekat Naqsabandiyah)
[12] Ibid.
[13] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar