PENENTUAN AWAL RAMADHAN
OLEH ALIRAN TAREKAT NAQSABANDIYAH
Oleh: Abdul
Hafizh[1]
ABSTRACT
Background of
this paper is Tarekat Naqsyabndiyah that conducting worship of fasting Ramadhan
earlier than the Goverment. The first fasting worship on will also affect the
day of EID Al-Fitr and EID Al-Adha. Based on analysis and data which the writer
do, the writer conclude the follower of Tarekat Naqsyabandiyah used the system
of hisab and rukyat to determine their own first Ramadhan is by
collect the letters of years and months required, then the numbers summed after
the obtained result, and then began counting from Thurshday until the total of
the letters, and we will get the day the required by using raw table which used
by Tarekat Naqsyabandiyah. After get the day that their calculate before (hisab),
then to the rukyat by using their method without advanced tools. Meanwhile,
the method which Indonesian goverment used is Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal,
Imkanur Rukyat MABIMS, and global Rukyat by using advanced
technology.
Keywords: First Ramadhan, Tarekat Naqsabandiyah
A.
Pendahuluan
Puasa Ramadhan wajib
dilaksanakan manusia, yang kewajiban itu dilaksanakan apabila diantara manusia
itu melihat hilal. Umat Islam Indonesia melaksanakan awal puasa berdasarkan
kepada hisab yang dilakukan oleh ahli hisab dengan ilmu falak (ilmu astronomi),
serta disesuaikan dengan rukyat yang dilakukan oleh ahli rukyat.
Adapun penentuan awal Ramadhan
berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia merupakan keputusan yang
menggabungkan pendapat dari ahli hisab dan ahli rukyat tentang penetapan awal Ramadhan
atas nama Ulil ‘Amri, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam surat
An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dari ayat di atas jelaslah
perintah kepada orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah, taat kepada
Rasul-Nya dan kepada Ulil ‘Amri. Yang penulis maksud dengan Ulil ‘Amri disini
adalah pemerintah yang mengambil keputusan dan mengamalkan ajaran Islam serta
tidak melakukan maksiat, sebab makhluk yang mendurhakai khaliknya tidak
wajib dipatuhi, maka dengan demikian
keputusan pemerintah tentang penetapan awal Ramadhan wajib dita’ati, dan bagi
yang tidak menta’ati keputusan pemerintah tersebut perlu dipertanyakan.
Tentang penetapan awal Ramadhan
yang diatur menurut syari’at Islam diungkapkan dalam hadits Nabi SAW yang
berbunyi:
عَنْ اِبْنُ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَ إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطَرَ فَاِنْ غَمَ عَلَيْكُمُ فَاقَدْرَزَلَهُ
}متفق علب { [2]
“Dari Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Jika kamu melihat bulan, maka berpuasalah. Jika kamu melihat bulan
maka berbukalah, dan jika terjadi mendung bagimu, perkirakanlah”. (HR.
Mutafaqun ‘alaih).
Dari hadits di atas dijelaskan
bahwa puasa itu dilaksanakan apabila melihat hilal, karena melihat bulan yang
utuh, pada saat awal bulan tidak mungkin apabila pengamatan itu dilakukan pada
waktu matahari terbenam yang keadaan langit diwaktu itu mulai berubah, yakni
terangnya langit diwaktu matahari terbenam berkurang, namun cahaya senja masih
terlihat sampai dengan waktu isya tiba, sehingga menyulitkan untuk dapat
melihat hilal yang masih terlalu tipis, yang terangnya tidak jauh berbeda
dengan terangnya langit senja yang cerah tanpa awan[3].
Dapat
dipahami bahwa puasa Ramadhan itu dilaksanakan apabila telah melihat hilal pada
permulaan awal bulan Ramadhan dan pada permulaan awal Syawal dapat dijadikan
pedoman atau petunjuk untuk berpuasa dan mengakhiri ibadah puasa yaitu hari
raya Idul Fitri dengan makan dan minum[4].
Ada beberapa aliran atau
kelompok yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan lebih dahulu atau lebih akhir
dari yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Seperti kelompok Ta’aqid
yang berada di Kelurahan Ampang Kecamatan Kuranji Padang. Mereka
melaksanakan puasa lebih akhir dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Begitu juga yang dilaksanakan oleh Aliran Tarekat Syattariyah, mereka juga
melaksanakan puasa Ramadhan lebih akhir dari yang dilaksanakan pemerintah
Republik Indonesia.
Lain halnya dengan Aliran
Tarekat Naqsabandiyah, mereka lebih dahulu melaksanakan puasa Ramadhan dari
ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Aliran ini berada
di daerah Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Padang, tepatnya di
Mushalla Baitul Makmur. Hasil wawancara sementara antara penulis dengan tokoh
aliran tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa mereka melaksanakan ibadah puasa
lebih awal dua hari dari yang dilaksanakan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Pelaksanaan puasa yang lebih awal dari ketentuan yang ditetapkan dari Menteri
Agama berpengaruh juga kepada pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Setelah dua hari Jema’ah
Aliran Tarekat Naqsabandiyah melaksanakan ibadah puasa, barulah pemerintah
melalui keputusan Menteri Agama Republik Indonesia mengumumkan tentang jatuhnya
awal Ramadhan melalui media massa, radio, dan televisi. Ini diamalkan oleh umat
Islam Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, penulis melihat perbedaan yang mendasar antara penentuan awal Ramadhan yang
dipatuhi oleh Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabandiyah dengan penentuan awal Ramadhan
umat Islam Indonesia umumnya.
Dari penulisan ini, ada beberapa tujuan dan kegunaan yang
ingin penulis capai.
1.
Tujuan
a.
Untuk
menjelaskan metode yang dipergunakan oleh aliran Tarekat Naqsabandiyah dalam
menentukan awal masuknya bulan Ramadhan.
b.
Untuk
menjelaskan pelaksanaan hisab dan rukyah penentuan awal bulan Ramadhan oleh
Jema’ah Aliran Tarekat Naqsabadiyah dan bagaimana perbedaannya dengan metode
yang dipakai oleh pemerintah.
2.
Kegunaan
a.
Secara
akademik dapat memberi kontribusi dalam bidang Hukum Islam khususnya tentang
sistem penentuan awal Ramadhan bagi Aliran Tarekat Naqsabandiyah tersebut.
b.
Untuk
memperdalam dan memperluas wawasan penulis, khususnya dalam bidang Ilmu Falak.
Karya ilmiah yang penulis tulis dalam bentuk Jurnal ini
berjudul “Penentuan Awal Ramadhan Oleh Aliran Tarekat Naqsabandiyah”. Untuk menghindari
kesalahpahaman serta tidak terjadi penciplakan terhadap karya ilmiah yang telah ada. Karya ilmiah yang ditulis oleh Aprisal,
SHI yang berjudul “Penentuan Awal Bulan Ramadhan Menurut
Rukyat Tarekat Syattariyah”. Hasil kajian bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW menjadi landasan atau dasar hukum bagi tarekat Syattariyah.
Para ulama Tarekat Syattariyah pada umumnya berpegang teguh
dengan prinsip yang mereka pegangi. Prinsip dalam hal ini maksudnya adalah
bahwa kelompok tarekat ini belum akan berpuasa sebelum
melihat bulan atau setelah menggenapkan bulan Sya’ban selama 30 hari. Karena
kelompok ini telah meyakini sepenuhnya dengan tatacara yang mereka lakukan
dalam menetapkan awal bulan Ramadhan yang didasarkan pada ketentuan hisab dan
takwim (jalan mencari timbulnya bulan).
Pada intinya dalam karya
ilmiah ini, aliran tarekat Syattariyah lebih lambat
melaksanakan puasa dari pemerintah apalagi dari aliran tarekat Naqsyabandiyah.
Jelas perbedaan yang terlihat antara kedua karya ilmiah ini, sehingga
menghindari penulis dari kesalahpahaman dan tuduhan atas penciplakan terhadap penulis.
B. Metodologi
Penelitian
Dalam pembuatan Jurnal ini, penulis akan mempergunakan
beberapa metodologi. Untuk menjawab permasalahan yang penulis rumuskan, maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif.
1.
Pengumpulan
Data
Sebagaimana lazimnya setiap pembahasan karya ilmiah yang
memerlukan data yang akurat dan tepat sehingga keberadaannya dapat diterima
secara ilmiah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi:
a.
Library
Research, yaitu dengan membaca buku-buku
yang mengkaji tentang masalah yang penulis bahas. Menurut Mestika Zed, studi
kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan bahan pustaka, membaca dan mencatat serta mengelola penelitian. (Mestika Zed: 2004)
b.
Field Research, yaitu
dengan mengadakan wawancara langsung dengan Jema’ah Aliran Tarekat
Naqsabandiyah yang berada di Kota Padang dan tokohnya (khusus masalah penentuan
awal Ramadhan Jema’ah Baitul Makmur). Dalam hal ini penulis langsung wawancara
dengan tokoh Aliran tersebut, yaitu bapak Syafri. Penulis langsung menemui
bapak tersebut ke tempat kediamannya di Mushalla Baitul Makmur. Penulis memulai
wawancara tersebut dengan menanyai bagaimana aliran ini lahir dan kapan
berdirinya, setelah itu barulah penulis masuk dengan masalah hisab dan rukyat
yang dilaksanakan oleh aliran ini.
2.
Pembahasan
Setelah bahan dan data terkumpul atau diperoleh, maka
dibahas, disusun dan di analisa melalui metode sebagai berikut:
a.
Induktif:
Berangkat dari fakta-fakta yang
khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau
peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi yang
mempunyai sifat umum. (Sutrisno Hadi: 1973)
b.
Deduktif: Suatu pengetahuan yang sifatnya umum
dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai sesuatu
kejadian yang khusus.(Sutrisno Hadi: 1973)
c.
Komperatif: Mencari pemecahan masalah melalui analisis
terhadap faktor-faktor tertentu berhubungan dengan situasi atau fenomena yang
diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain.(Winamo Surakhmad: 1990) Kemudian, seandainya sejalan dikompromikan dan apabila
berbeda dikuatkan salah satunya.
3.
Sumber
Data
Sebagai sumber primer, penulis menggunakan kitab-kitab
Fiqih yang membahas tentang puasa, seperti; Fiqh as-Sunnah, Subul
as-Salam, Bidayat al-Mujtahid, dan berbagai kitab Fiqih lainnya yang
membahas tentang hisab dan rukyat. Sedangkan sumber sekunder yang
penulis gunakan adalah literatur-literatur yang memiliki kaitan dengan
pembahasan yang penulis tulis, seperti; artikel lepas, majalah dan bahan-bahan
lain yang mendukung pembahasan ini.
4.
Teknik
Analisis Data
Bahan yang telah dihimpun di atas akan dianalisa dengan
menggunakan metode content analysis (analisis konten) terhadap pemikiran
dan pendapat yang berkaitan dengan masalah di atas.
C. Hasil
dan Diskusi
Penentuan awal bulan Ramadhan adalah suatu hal
terpenting dalam penetapan jatuhnya awal bulan baru di Hijriyah, baik dalam
penetapan awal Ramadhan dan Syawal juga dalam hal ibadah lainnya seperti
penentuan waktu shalat dan perhitungan hasil zakat.
Para
ulama fikih dalam penetapan awal Ramadhan terdapat perbedaan pendapat, baik
yang menggunakan metode hisab ataupun rukyat, bahkan sesama hisab atau rukyat itupun mempunyai peluang
terjadinya perbedaan pendapat.
Imam
Hanafi, Maliki dan Hambali menetapkan penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu
hanyalah dengan rukyat hilal, sedangkan dengan ilmu hisab tidak dibenarkan,
sekalipun benar tidak dapat diterima dengan alasan tidak adanya syari’at yang
dapat dijadikan sandarannya. Dimana di dalam hal rukyat ada hadits Nabi yang mengungkapkan
untuk dilaksanakannya rukyat sebagaimana dalam hadits Nabi dari Ikrimah yang
menerima pengkhaibaran seorang Arab Baduwi yang bertujuan untuk kehati-hatian.
Sedangkan
menurut Imam As-Subuki, bahwa kalau seandainya seorang atau
dua orang saksi menyatakan melihat hilal, sedangkan hasil hisab menyatakan
bahwa hilal tidak mungkin dilihat, maka persaksian tersebut tidak dapat
diterima sebab hisab mempunyai qath’i. Sedangkan nilai persaksian hanya
merupakan persangkaan kuat, sedangkan persangkaan kuat tidak dapat mengalahkan
sesuatu yang telah mempunyai nilai pasti[5].
Lebih
tegas lagi dalam kitab Syarwani ‘alat tuhfah seorang ahli fikih mengemukakan bahwa dalam perhitungan hisab, hilal
itu telah wujud namun dikarenakan cuaca mendung, berawan dan tertutup
partikel-partikel lainnya, sehingga hilal itu tidak dapat di rukyat. Oleh sebab
itu dilaksanakan dengan imkanur rukyat yaitu dengan mencukupkan hasil
perhitungan hisab tersebut[6].
Dari
perkembangan pendapat ulama di atas, penulis
berpendapat bahwa para ulama (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali) menolak
ilmu hisab dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal dikarenakan ttidak adanya
sandarannya. Namun penulis pahami bahwa para Imam tersebut yang menolak di atas,
secara tidak langsung sudah mengakui kebenaran hasil perhitungan hisab ini.
Penulis memahaminya dari ungkapan Imam Malik “Beramal berdasarkan
hitungan-hitungan secara falakiyah sekalipun benar, yang demikian itu tidak
dibenarkan” dan ungkapan Imam Hanbali “Tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan
hisab dan nujum sekalipun banyak betulnya, dikarenakan tidak ada sandaran yang
dipegangi secara syari’at”. Menurut hemat penulis ilmu hisab ini mempunyai
dasar dan sandaran hukumnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Isra’
(17) ayat 12, yang berbunyi:
وَجَعَلْنَا
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ءَايَتَيْنِ فَمَحَوْنَا ءَايَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا
ءَايَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ
تَفْصِيلًا
“Dan
kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam
dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu,
dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan waktu. Dan
segala sesuatu yang telah kami terangkan dengan jelas”.
Bahwa
dari ayat di atas tersebut dapat dipahami, untuk mengetahui peredaran matahari dan bulan adalah dengan ilmu hisab (ilmu
falak) yang dipahami dari maksud ayat (لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ) “supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan waktu” yang demikian itu adalah denga hisab, sebagaimana
disebutkan juga dalam tafsir al-Maraghi bahwa makna ayat (لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ) adalah supaya manusia mengetahui sifat
matahari, bulan dan tempat peredarannya dengan ilmu hisab[7].
Jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan berdasarkan kepada
pemahaman nash yang ada, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Rasulullah
SAW, yang merupakan sumber ajaran Islam yang disepakati. Hal ini terlihat dengan penentuan awal Ramadhan yang
berdalilkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Fajr ayat 1-5 yang berbunyi:
وَالْفَجْرِ(1)وَلَيَالٍ عَشْرٍ(2)وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ(3)وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ(4)هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ(5)
“(1). Demi fajar, (2). Dan malam yang sepuluh, (3). Demi yang genap
dan yang ganjil, (4). Demi malam, bila telah berlalu, (5). Adakah pula demikian
itu, sumpah bagi orang yang berakal ”[8].
Dari ayat di atas dapat
dipahami bahwa Allah SWT bersumpah, demi fajar dan demi malam yang sepuluh (tiap-tiap bulan) dengan demikian penghisaban awal Ramadhan itu dapat
dimulai tanggal 8 sampai 10 Sya’ban yang pada tanggal itu bulan kelihatan
separoh, sedangkan pada tanggal 10 nya, bulan itu akan kelihatan sumbing yakni
¾ yang berfungsi menandakan bulan itu telah lewat dari separoh. Kemudian pada
tanggal 15 Sya’ban bulan itu akan kelihatan penuh (bulat sempurna) yang
penglihatannya dimulai dari jam 19.00 WIB (diwaktu maghrib) sampai subuh, bila
tetap kelihatan yang demikian itu dinamakan kesiangan. Maka umur bulan itu
berarti sudah sampai 15 hari (tanggal 15 Sya’ban)[9].
Demi malam yang telah berlalu
yakni hari yang telah lalu, kalau bulan itu sudah separoh atau sudah delapan
hari berarti menandakan bahwa hari yang sebelumnya sudah tujuh hari. Sedangkan
dari makna ayat yang demikian itu sumpah bagi orang yang berakal, bahwa manusia
harus menggunakan akal pemikirannya karena tujuan akal itu diberikan adalah
untuk berfikir. Maka dituntut kebenaran akal dalam berfikir dengan sumpah Allah
tersebut di atas, yaitu mengfungsikan akal dengan memperhitungkan akal yakni
dengan hisab dan rukyah[10].
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa melihat bulan itu pada dasarnya dilaksanakan setiap bulan,
bukan di bulan Sya’ban saja. Namun di bulan Sya’ban perukyatan bulan itu mulai
dari tanggal 8 Sya’ban yang sebelumnya telah ditentukan suatu hari hasil
penghisaban dengan menggunakan cara tersendiri sebagaimana tercantum di bawah
ini:
" انله بلعن حسب اهل تفويم، مك هبمفنكن حورفى بولان يع دكحندكي ايت دعن ببرافى بيلاعن اعك حروفى تاهون ايت دان حروفى بولان ايت، مك دمولاي بيلاعن فد حارى خمس هيعك سمفاي بيلاعن جمله حروفى بولان دان باراع افى يع تافت نام هارى دغن فعحابسان بيلاعن اعك ايت بكيت له سترسث سمفاي حارى قيامه "[11]
“Inilah bilangan hisab ahli taqwim,
maka himpunkan huruf bulan yang dikehendaki itu dengan beberapa bilangan angka
huruf tahun itu dan huruf bulan itu, maka dimulailah bilangan pada hari Kamis
hingga sampai bilangan jumlah huruf bulan dan barang apa yang tepat nama hari
dengan penghisaban bilangan angka itu, begitulah seterusnya sampai hari
kiamat”.
Dari kutipan di atas dapat
dipahami bahwa cara penghisabannya dilakukan dengan menghimpunkan huruf tahun
dengan huruf bulan yang dikehendaki yang kemudian angkanya ditambahkan setelah
didapati hasilnya, maka dimulailah menghitung dari hari Kamis hingga sampai
jumlah huruf tersebut, dan didapatilah hari yang dikehendaki tersebut dengan
mempergunakan tabel baku yang dipergunakan oleh aliran ini sebagaimana yang terdapat
pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Sehingga dengan demikian
dapatlah diketahui penghisaban hari tersebut seperti penetapan awal Ramadhan
2009 dimana bulan Muharram 3 ditambahkan dengan Ramadhan 5, maka jumlahnya 8.
Lalu dilihatlah dari hari Kamis, Juma’at, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan
Kamis. Hari Kamislah jatuhnya awal Ramadhan 2009. Kemudian barulah setelah itu
di rukyah hari Kamis tersebut pada tanggal 8 Sya’ban, bila tepat separoh pada
hari yang ditentukan dari jam 19.00 sampai subuh, maka puasa Ramadhan tepat
dilaksanakan pada hari yang telah dihisab tersebut. Kemudian apabila bulan
tersebut lewat dari separoh, berarti puasa dilaksanakan satu hari sebelum hari
yang telah dihisab di atas.
Kemudian mengenai hitungan
jumlah hari dalam setiap bulan Qamariah itu terdiri dari 29 dan 30 hari.
Muharram 30 hari, Syafar 29 hari, Rabi’ul Awwal 30 hari, Rabi’ul Akhir 29 hari,
Jumadil Awwal 30 hari, Jumadil Akhir 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari,
Ramadhan 30 hari, Syawal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari, Dzulhijjah 29 hari.
Sebagaimana hadits Nabi yang dikemukakan oleh Bapak Syafri yang berbunyi:
عَنْ
إِبْنُ عُمَرَ عَنْ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّهُ قَالَ: إِنَّا
اُمَّةُ اُمِيْةُ لاَ نَكْتُبَ وَلاَ نَحْسَبَ الشَّهْرَ هَكَذَا وَ هَكَذَا يَعْنِى
مَرَّةَ تِسْعَةُ وَ عِشْرِيْنَ وَ مَرَّةَ ثَلاَ ثِيْنَ {رواه مسلم}
“Dari Ibn
Umar dari Nabi SAW bersabda: Kami umat yang buta huruf, tidak dapat menulis
ataupun menghitung, bulan itu begini dan begini, yaitu kadang-kadang 29 hari
dan kadang-kadang 30 hari”. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa
umur bulan itu ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari, artinya umur yang 29 hari
itu adalah umur yang minimal, sedangkan yang 30 hari itu adalah umur yang
maksimal.
Begitu juga hadits yang
diterima beliau dari gurunya Syekh H. Abdul Munir secara lisan saja, sehingga
yang diketahui secara pasti oleh Bapak Syafri hanyalah maksud dari hadits
tersebut.
صو
موا رمضان با ئكمل ثلا ثين
“Wajib mempuasakan Ramadhan
dengan menyempurnakan Sya’ban 30 hari”.
Dari hadits di atas dapat
dipahami bahwa pada tanggal 30 Sya’ban sudah jatuh wajib dilaksanakannya puasa
Ramadhan yang di pahami dari kata “بأكمل” tersebut, karena umur bulan Sya’ban itu hanya 29 hari dan hari
yang ke-30 nya adalah 1 Ramadhan[12].
Menurut Bapak Syafri, kalau
benar-benar perukyatan tersebut dilakukan dengan alat teknologi seperti
teropong bintang, pastilah awal puasa itu akan sama dengan jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah. Karena bulan itu beredar pada
peredarannya dan ia akan kembali muncul setelah menghilangnya tersebut,
terbukti dengan bulan itu akan pasti kelihatan uga pada esoknya. Sedangkan bila
dilihat dahulu bulan (hilal) itu berada di atas ufuk atau berada dalam
ketinggian sekian derajat, berarti bulan Ramadhan itu sudah masuk. Maka sama
halnya dengan mempuasakan hari yang telah lewat. Begitu juga dengan jatuhnya 1
Syawal yang diharamkan berpuasa pada hari itu, sedangkan disaat bulan sabit itu
terlihat sedang dilaksanakan puasa. Berarti puasa pada hari yang diharamkan
berpuasa.
Untuk menentukan dan mengetahui
bahwa bulan baru itu telah muncul tidak terlalu dijadikan patokan, namun cara
menentukan dan mengetahui telah datangnya bulan baru dapat diperhatikan dari
mata Kucing. Dimana bila bulan baru telah muncul, maka gelanggang mata Kucing itu
membesar dan begitu seterusnya mengiringi besarnya bulan. Apabila bulan tersebut sudah besar, barulah mata Kucing
itu membesar walaupun bulan itu tertutup awan.
Kemudian juga dapat diperhatikan
dari naik pasangnya air laut yang dengan mengeluarkan atau membawa
rumput-rumput laut yang dapat dijadikan bahan agar-agar, menandakan bulan baru
itu telah muncul. Sedangkan apabila naik pasangnya air laut tersebut tanpa
mengeluarkan atau membawa rumput-rumput laut, yang demikian itu bukanlah
merupakan tanda awalnya suatu bulan baru.
Jadi jelaslah bahwa penentuan
awal Ramadhan jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla
Baitul Makmur Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Padang tidak
memakai ilmu hisab dan rukyat yang dipakai oleh umat Islam umumnya, melainkan
memakai ilmu hisab dan rukyat tersendiri menurut ajaran dan kepercayaan dari
guru mereka.
Adapun cara penghisaban jema’ah Tarekat Naqsyabandiyah ini dengan mempergunakan tabel
yang terambil dari buku berbahasa Arab Melayu yang tidak diketahui judulnya,
dilakukan dengan cara menghimpunkan angka
bilangan bulan ditambahkan dengan angka bilangan tahun yang dikehendaki.
Setelah didapati jumlahnya, dihitunglah mulai hari Kamis. Setelah itu
dilaksanakanlah rukyat pada tanggal 8 Sya’ban. Apabila pada tanggal tersebut
bulan itu separoh, hari yang dihisab itulah awalnya ibadah puasa. Apabila pada
tanggal tersebut bulan lewat atau lebih dari separoh, maka awal puasa lewat
pula satu hari dari hari yang dihisab tersebut. Begitu juga apabila bulan
kurang dari separoh, maka awal puasa itu jatuh satu hari sebelum hari yang
telah dihisab tersebut[13].
Dalam menentukan awal Ramadhan
yang dilakukan oleh Tarekat Naqsyabandiyah dengan metode rukyat, mereka tidak mempergunakan alat-alat
canggih/modern seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Mereka melakukan rukyat
dengan mata telanjang dan akal, seperti melihat dari mata kucing: apabila bulan
baru itu telah muncul maka gelanggang mata kucing itu akan membesar dan begitu
seterusnya mengiringi besarnya bulan tersebut. Dan dari naik pasangnya air laut
yang membawa rumput-rumput laut yang dapat dijadikan agar-agar sebagai pertanda
awal bulan baru.
Demikianlah keyakinan dari
jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla Baitul Makmur dalam penetapan
jatuhnya awal Ramadhan yang lebih awal satu atau dua hari dari umat Islam
umumnya.
D.
Kesimpulan
Cara penghisabannya mempergunakan tabel yang terambil dari buku berbahasa
Arab Melayu yang tidak diketahui judulnya, dilakukan dengan cara menghimpunkan
angka bilangan bulan ditambahkan dengan angka bilangan tahun yang dikehendaki.
Setelah didapati jumlahnya, dihitunglah mulai hari Kamis. Setelah itu
dilaksanakanlah rukyat pada tanggal 8 Sya’ban. Apabila pada tanggal tersebut
bulan itu separoh, hari yang dihisab itulah awalnya ibadah puasa. Apabila pada
tanggal tersebut bulan lewat atau lebih dari separoh, maka awal puasa lewat
pula satu hari dari hari yang dihisab tersebut. Begitu juga apabila bulan
kurang dari separoh, maka awal puasa itu jatuh satu hari sebelum hari yang
telah dihisab tersebut.
Sehingga dengan demikian
dapatlah diketahui penghisaban hari tersebut seperti penetapan awal Ramadhan
2009 dimana bulan Muharram 3 ditambahkan dengan Ramadhan 5, maka jumlahnya 8.
Lalu dilihatlah dari hari Kamis, Juma’at, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan
Kamis. Hari Kamislah jatuhnya awal Ramadhan 2009. Kemudian barulah setelah itu
di rukyah hari Kamis tersebut pada tanggal 8 Sya’ban, bila tepat separoh pada
hari yang ditentukan dari jam 19.00 sampai subuh, maka puasa Ramadhan tepat
dilaksanakan pada hari yang telah dihisab tersebut. Kemudian apabila bulan
tersebut lewat dari separoh, berarti puasa dilaksanakan satu hari sebelum hari
yang telah dihisab di atas.
Kemudian mengenai hitungan
jumlah hari dalam setiap bulan Qamariah itu terdiri dari 29 dan 30 hari.
Muharram 30 hari, Syafar 29 hari, Rabi’ul Awwal 30 hari, Rabi’ul Akhir 29 hari,
Jumadil Awwal 30 hari, Jumadil Akhir 29 hari, Rajab 30 hari, Sya’ban 29 hari, Ramadhan
30 hari, Syawal 29 hari, Dzulqa’dah 30 hari, Dzulhijjah 29 hari.
Demikianlah
keyakinan dari jema’ah Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Mushalla Baitul Makmur
dalam penetapan jatuhnya awal Ramadhan yang lebih awal satu atau dua hari dari
umat Islam umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Buku;
Hadi, Sutrisno. 1973. Metodologi Research, (UGM Fakultas
Psychology: Yogyakarta)
Muhammad bin Ismail
al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz. II
Mustafa al-Maraghi, Ahmad.
t.th. Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Mustafa Babil Halabi). Juz ke-10
Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, Almanak Hisab dan Rukyat
Surakhmad, Winarno.
1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. (Tarsito: Bandung)
Zed, Mestika. 2004. Metode
Penelitian Kepustakaan. (Yayaasn Obor Indonesia: Jakarta)
Wawancara;
Bapak Syafri
(69 Tahun), Tokoh dan Imam Aliran Tarekat Naqsyabandiyah Jema’ah Baitul Makmur,
Kelurahan Binuang Kampuang Dalam
[1] Dosen
Pengampu pada Mata Kuliah Ilmu Falak pada STAI Balaiselasa YPPTI Pesisir
Selatan.
[2]Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subulussalam, (Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.), juz. II, h. 151
[3] Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Almanak
Hisab dan Rukyat, h. 54
[4] Husein
Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya:
al-Ikhlas, 1980), h. 74
[5] Ibrahim
Hosen, dkk. Op. Cit. h. 10
[6] Ibid.
[7] Ahmad
Mustafa al-Maraghi. t.th. Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Mustafa Babil
Halabi). Juz ke-10. h. 67
[8] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
[9] Bapak Syafri (69 Tahun), Tokoh dan Imam Aliran Tarekat
Naqsyabandiyah Jema’ah Baitul Makmur, Kelurahan Binuang Kampuang Dalam, Wawancara,
24 Desember 2009
[10] Ibid.
[11] Ibid. Inilah al-manak untuk mencari awal bulan
Tahun Qamariyah (Menurut Tarekat Naqsabandiyah)
[12] Ibid.
[13] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar